Tuhan selalu menitipkan sesuatu kepada hambanya tentu ada maksud tertentu. Bahasa sederhanya, ada rencana Allah dibalik semua hal yang menimpa kita.
Ada hikmah atau pelajaran berharga di balik setiap peristiwa hidup kita. Rasa sakit yang kita rasakan adalah bentuk kasih sayang Allah untuk mengahpus dosa kita di bumi ini.
Beberapa hari sejak meyapa bulan Syawal ini. Saya dan Nyonya (istri) mengalami ujian sakit secara bersamaan.
Ya. Batuk yang tak henti-henti hingga detik ini ketika tulisan sederhana ini digoreskan.
Kepada pembaca budiman saya mohon untuk mengrimkan doa kesembuhan buat kami berdua. Semoga Allah yang membalas kebaikan kalian berupa lipatan ganda pahala tersebab berkenan mendoakan sesama hamban-Nya.
Tangis Siang itu Pecah Haru
Siang hari kala seusai ngopi pagi hari dan panas badan mulai menurun. Naman dahak di krongkongan leher masih saja menyiksa.
Saya berkesempatan mengunjungi salah satu sepuh di dekat pesantren Tebuireng yang sedang mengalami penyakit serias. Asam Urat orang-orang mengenalnya hingga seppuh ini harus terbaring lama di kasurnya.
Dalam kunjungan kali ini mendengarkan cerita sang seppuh. Singkatnya, beliau bercerita bahwa beliau malu jika santri itu berhenti berjalan jika menemui beliau di jalan sebagai bentuk takzim dan tingginya akhlak para santri.
Tidak lama kemudian tangis pecah dari bibir beliau. "Aku ini kotor, tak selayaknya santri menaruh takzim". Ungkap sepuh tersebut sambil memecah tangisnya bersama perih sakit yang dideritanya juga.
Tuhan Ampuni Aku
Pecahnya tangis di atas mengingatkan diri ini sekaligus sebuah nasihat yang amat dalam. Bahwa kita harusnya selalu merasa bukan siapa-siapa karena memang lumuran kotornya dosa yang telah banyak tergoreskan.