Mohon tunggu...
Agung Dani Ramdani
Agung Dani Ramdani Mohon Tunggu... Guru - Kepala Sekolah

kepala sekolah di Sekolah Khusus. Fokus saya adalah membangun budaya sekolah sebagai organisasi pembelajar, mengembangkan pendidikan inklusif, serta memberdayakan guru dan siswa melalui pembelajaran berdiferensiasi, program vokasional, dan kolaborasi berkelanjutan. Saya percaya bahwa setiap anak dapat tumbuh optimal dalam ekosistem pendidikan yang humanis dan transformatif.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ironi Pengabdian, Ketika Mengajar Hanya Jadi Pekerjaan Kedua

19 Juni 2025   06:10 Diperbarui: 20 Juni 2025   14:28 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Mengajar (Foto: Syafbrani ZA via kompas.com)

Di tengah tekanan ekonomi, semakin banyak guru yang lebih fokus pada pekerjaan sambilan atau usaha pribadi dibanding mengajar. Realita pahit ini menjadi tamparan bagi dunia pendidikan kita.

Pagi itu, suasana ruang guru tampak lengang. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15, namun beberapa guru belum juga hadir. 

Bukan karena malas atau abai, melainkan karena mereka sedang mengurus usahanya, atau menyelesaikan pekerjaan sampingan lainnya. Di banyak sekolah, terutama yang berada di daerah pinggiran dan pedesaan, fenomena ini sudah menjadi hal yang lumrah.

Mengajar Tak Lagi Prioritas

"Kalau hanya mengandalkan gaji, saya nggak bisa hidup," ujar Pak Dwi, seorang guru di salah satu SMA. Ia kini lebih sibuk berjualan di marketplace. "Saya hanya datang ke sekolah kalau jadwal padat sudah selesai," tambahnya.

Dilema ini menggambarkan sebuah ironi besar: profesi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa kini harus bergantung pada pekerjaan lain untuk bisa bertahan hidup. Bukan karena para guru kehilangan semangat mengajar, tapi karena kondisi yang memaksa mereka menggeser prioritas.

Pendidikan yang Tersisih

Akibatnya, kualitas pengajaran ikut terdampak. Waktu untuk merancang pembelajaran, membimbing siswa, hingga meningkatkan kompetensi diri tergerus oleh kesibukan di luar sekolah. Bagi sebagian guru, mengajar sudah bukan lagi panggilan utama, tapi hanya pelengkap.

Ibu Rina, guru SD di daerah pelosok, dengan jujur mengatakan, "Saya bangun jam 4 pagi, masak, siapkan pesanan katering, kirim ke pelanggan, baru berangkat ke sekolah. Kadang saya datang telat, kadang harus izin. Tapi bagaimana lagi, saya butuh uang untuk mencukupi kebutuhan dan menutupi cicilan."

Sistem yang Harus Berbenah

Fenomena ini bukan semata salah guru. Ini adalah cermin dari rapuhnya sistem kesejahteraan tenaga pendidik di negeri ini. Gaji minim, status tidak pasti, dan kurangnya perhatian membuat guru harus mengorbankan idealisme demi realita.

Sudah waktunya pemerintah dan masyarakat benar-benar memahami bahwa membiarkan guru "menyambi untuk hidup" adalah ancaman nyata bagi mutu pendidikan. Kita tidak bisa berharap banyak dari guru yang terpaksa membagi fokus dan tenaga demi bertahan secara ekonomi.

Kita Butuh Guru yang Utuh

Seorang guru yang utuh --- yang bisa fokus, nyaman, dan sejahtera --- adalah kunci keberhasilan pendidikan. Kita tidak hanya membutuhkan guru yang hadir di ruang kelas, tapi juga yang hadir sepenuh hati. Dan itu hanya mungkin jika mereka tidak perlu lagi memilih antara mengajar dan mencukupi kebutuhan hidup.

Penutup:

Ketika mengajar hanya menjadi pekerjaan kedua, maka masa depan anak-anak bangsa pun perlahan dipinggirkan. Mengangkat martabat guru bukan sekadar memberi upah, tetapi juga mengembalikan nilai luhur pengabdian mereka sebagai pendidik sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun