Saya senang Semarang punya surga baru, namanya Microlibrary Warak Kayu. Sebuah perpustakaan kecil yang lokasinya berada tepat di pusat jantung kota Semarang. Lebih tepatnya lagi hanya 400 meter dari RS Dr. Kariadi dan jika ditempuh dengan jalan kaki mungkin hanya butuh waktu 5 menit.
Dinamai "Microlibrary" karena memang tempatnya tidak besar, "Warak" sendiri adalah hewan mitologi yang menjadi ciri khas kota Semarang yang merupakan gabungan dari 3 hewan; naga, burak dan kambing sementara "Kayu" diambil karena hampir keseluruhan bangunan ini terbuat dari kayu.
Kabar tentang perpustakaan baru ini tak begitu riuh. Banyak kawan saya yang tinggal di Semarang bahkan belum mendengarnya atau jikalau pun dengar cuma samar-samar saja.
Semarang memang tak punya banyak perpustakaan layaknya Jogja maupun Jakarta. Satu-satunya perpustakaan yang dulu sering saya kunjungi ketika masih tinggal di Semarang adalah perpustakaan provinsi Jawa Tengah yang lokasinya ada di jalan Sriwijaya. Selain itu saya tidak terlalu banyak tahu.
Microlibrary Warak Kayu seperti oase di tengah keringnya jumlah tempat baca di Semarang. Konsepnya yang estetik dan unik berhasil mematahkan kesan formal dari sebuah perpustakaan.
Mungkin bagi orang Jakarta perpustakaan ini tergolong biasa apalagi jika kita menyandingkannya dengan Perpusnas, TIM, atau Erasmus Huis yang luar biasa indah itu, tapi bagi saya perpustakaan ini tak kalah jika harus diadu terlebih dari segi arsitekturnya.
Jangan salah, perpustakaan ini adalah hasil kolaborasi banyak pihak. Desain arsitekturnya dirancang oleh SHAU (Suryawinata Haizelman Architecture Uranism) Indonesia.
Bahan bangunannya dipasok oleh PT Kayu Lapis Indonesia dalam bentuk prefabrikasi hasil olahan limbah kayu yang sudah tidak terpakai.
Lahannya disediakan oleh pemerintah setempat, biaya pembangunannya ditanggung oleh swasta sementara pengelolaannya berada di bawah Harvey Center.
Arsitekturnya memang memadukan antara desain rumah panggung dengan sistem konstruksi Zollinger Bauweise Jerman. Sistem konstruksi ini dikenal karena efisiensi dalam penggunaan energi, penataan ventilasi, pencahayaan dan shading.
Dengan kata lain struktur bangunannya didesain dengan banyak penghawaan silang sehingga memungkinkan untuk mendapatkan sirkulasi udara, shading serta pencahayaan secara baik.
Desain model seperti ini tentunya juga ramah lingkungan apalagi kayu yang dipakai bersertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) di mana sudah memenuhi prinsip-prinsip berkelanjutan.
Karena penasaran juga akhirnya saya menyempatkan waktu untuk mampir ketika pulang mudik lalu. Rupanya lokasinya tepat di samping taman Kasmaran. Seorang kawan yang rumahnya tidak jauh dari si perpustakaan sudi merelakan waktu untuk menemani saya.
Kawan saya ini pernah mendengar keberadaan Microlibrary Warak Kayu tapi belum pernah mampir (padahal jaraknya dekat rumah). Ia juga bilang kalau beberapa kali lewat tapi terlihat sepi.
Bentuknya seperti rumah panggung dengan dominasi warna coklat. Dilihat dari arah luar desainnya seperti punya banyak sisik.
Menurut informasi yang tertempel di perpustakaan, desain sisik ini adalah bentuk refleksi dari Warak Ngendok, hewan mitologi simbol kerukunan etnis yang sudah menjadi ikon sekaligus ciri khas kota Semarang.
Areanya tidak begitu besar. Luasnya hanya 90 meter persegi dengan tinggi 6,65 meter. Di bagian tengah ada meja kursi baca dan seorang penjaga yang menunggui tempat ini. Area penyimpanan buku berada di sebelah kanan jalan masuk. Bisa dibilang besarnya tidak sampai separuh dari luas keseluruhan.
Saya menitipkan barang di loker tak berkunci yang berada di sebelah kanan jalan masuk lalu mengisi buku hadir secara manual. Di samping meja registrasi terdapat lantai jaring yang bisa dipakai pengunjung untuk membaca buku. Saya pun mencoba menjangkau area itu dengan penuh kehati-hatian.
Mbak penjaga meyakinkan saya kalau jaring itu kuat dan tidak mungkin ambrol ke bawah, tapi semua kalimat itu tetap tidak bisa menenangkan gerak kaki saya yang sudah terlanjur gemetaran. Begitu berhasil merebahkan badan barulah saya percaya kalau jaring itu cukup kuat, tapi tetep ya, jangan di goyang-goyang, hehe.
Koleksi buku di Microlibrary Warak Kayu cukup bagus. Ada buku-buku fiksi dan non fiksi. Beberapa contoh judul yang saya temui di antaranya Madilognya Tan Malaka, Filosofi Terasnya Henry Manampiring, Supernovanya Dewi Lestari, Laskar Pelanginya Andrea Hirata, buku-buku Sherlock Holmes, buku-buku Emha Ainun Najib, buku-buku non fiksi seperti ekonomi, geografi, sejarah, filsafat, psikologi hingga komik-komik seperti One Piece dan Doraemon. Saya bahkan menemukan buku Kompasiana yang judulnya "Etalase Warga Biasa."
Kabar dari si penjaga koleksinya ada sekitar 1000 buku. Buku-buku tadi didapat dari berbagai cara, ada yang beli, ada yang diberi dan ada pula yang dipinjami.
Sebagai pembaca buku, saya merasa cukup nyaman dengan koleksi-koleksi mereka. Andai saja tidak sedang membawa teman dan bukan bulan ramadan saya pasti betah berlama-lama di sana.
Berbeda dengan perpustakaan-perpustakaan yang pernah saya kunjungi di Jakarta, tempat ini tergolong cukup sepi, bahkan sangat sepi. Selama saya berada di sana, hanya ada 2 hingga 3 pengunjung yang datang.
Padahal kalau dipikir-pikir tempat ini nyaman untuk ngadem dari panasnya kota Semarang. Mungkin saja itu karena tempat ini masih baru dan belum sampai ke telinga para pencinta buku. Maklum, tempat ini baru diresmikan tahun 2020 lalu.
"Kalau hari biasa jumlah pengunjung sekitar 12 hingga 15 orang, kalau weekend sampai 30 orang sementara long weekend bisa sampai 60 orang," kata Mbak penjaga.
Saya kembali berkeliling dan memperhatikan setiap detail desain yang dibuat. Memang terlihat dan terasa sekali ramah udara. Tak ada kipas angin apalagi air conditioner, semua sisi, setiap sudut adalah ventilasi.
Yap, sebuah karya luar biasa dan sangat membanggakan. Mungkin dari segi luas dan jumlah koleksi masih belum seberapa tapi dari segi arsitektur, boleh lah kalau mau diadu dengan perpustakaan-perpustakaan estetik dari kota lain.
Saya memang berharap tempat ini jadi surga barunya para pencinta buku daerah Semarang dan sekitarnya. Tapi saya lebih berharap, tempat ini akrab dengan seluruh lapisan masyarakat.
Gambarannya, di sini akan ada banyak orang yang membaca buku, bisa jadi pelajar yang mampir sepulang sekolah, abang gojek yang berteduh sembari menunggu orderan, muda mudi yang tak punya banyak uang untuk pergi ke bioskop, para pedagang taman Kasmaran yang gabut menunggu pelanggan atau bahkan keluarga pasien RS. Kariadi yang jenuh menunggu antrian.
Siapapun! Saya ingin tempat ini akrab dengan siapapun, karena pada dasarnya itu tujuan utama dari sebuah taman bacaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI