Mohon tunggu...
Zyah El Qonita
Zyah El Qonita Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswi pendidikan sejarah di Universitas Negeri Jakarta angkatan 2011... Penuntut Ilmu Syar'i yang terobsesi ingin menjadi istri dan ibu yang shalihah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

IBNU AL-HAITSAM: SEJARAH PENEMUAN OPTIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP SAINS BARAT MODERN

28 Desember 2012   23:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:53 7534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

IBNU AL-HAITSAM: SEJARAH PENEMUAN OPTIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP SAINS BARAT MODERN

Oleh : Fauziah

Abstrak

Paper ini mendiskusikan tentang peran ilmuwan muslim yakni Ibnu Al-Haitsam dalam bidang ilmu optic. Ibnu Al-Haitsam yang dikenal di Eropa dengan nama Alhazen ini memilki pengaruh yang besar terhadap sains di Eropa. Al-Manazhir atau dalam bahasa Latin dikenal dengan Opticae Theasaurus dijadikan sebagai rujukan ilmu optic di Eropa. Paper ini juga akan menyinggung teoridan pemikiran Ibnu Al-Haitsam dalam bidang optik, serta penemuannya yang terkenal,Camera Obscura yang menjadi dasar bagi penciptaan kamera modern.

keywords : optic,Al-Manazhir,camera obscura.

PENDAHULUAN

Kebanyakan dari kita-terutama kaum muslimin saat ini-lebih mengenal ilmuwan-ilmuwan Barat daripada ilmuwan-ilmuwan muslim. Padahal sebelum peradaban Barat maju seperti saat ini, ilmuwan muslimlah yang lebih dahulu maju dalam bidang sains. Sains dalam peradaban Islam mencirikan sains yang sejalan dengan agama. Saat itu di abad 8 sampai abad 15 peradaban Barat tengah mengalami masa kegelapan atau dikenal dengan istilah “Dark Age”. Abad kegelapan ini yang menimbulkan kemacetan ilmu pengetahuan di Barat karena pengaruh gereja yang begitu kuat.

Menurut Gustave Le Bon[1],sebelum Islam datang, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak satupun bidang ilmu yang maju bahkan lebih percaya pada tahayul. Sebuah kisah menarik terjadi pada zaman Daulah Abbasiah saat kepemimpinan Harun Al-Rasyid, tatkala beliau mengirimkan jam sebagai hadiah pada Charlemagne seorang penguasa di Perancis. Penunjuk waktu yang setiap jamnya berbunyi itu oleh pihak Uskup dan para Rahib disangka bahwa di dalam jam itu ada jinnya sehingga mereka merasa ketakutan, karena dianggap sebagai benda sihir. Pada masa itu dan masa-masa berikutnya, baik di belahan Timur Kristen maupun di belahan Barat Kristen masih mempergunakan jam pasir sebagai penentuan waktu. Bagaimana kondisi kegelapan Eropa pada zaman pertengahan (Abad 9 M) bukan hanya pada aspek mental-dimana cenderung bersifat takhayul.

Peradaban Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang sains pada saat Dinasti Abbasiyah berkuasa yakni tahun 750-1258 M.Gerakan penerjemahan dari sumber-sumber pengetahuan Yunani, Persia, India, China yang di pelopori oleh penguasa pada saat itu menjadi salah satu faktor berkembang pesatnya sains. Maka muncullah saintis-saintis muslim yang hebat di bidang ilmu-ilmu alam seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Biruni, dan lain-lain.

Paper ini akan mendiskusikan mengenai kontribusi salah seorang ilmuwan muslim yakni Ibnu Al-Haitsam atau orang Eropa menyebutnya dengan nama Alhazen dalam bidang ilmu optik[2],pemikirannya tentang teori penglihatan,penemuan-penemuannya serta pengaruh pemikirannya dalam sains di dunia Eropa.

Ibnu Al-Haitsam, Sang Ilmuwan Optik

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad Al Hassan ibnu Al-Haitsam, Ia dilahirkan di Bashrah-salah satu kota di Irak sekarang- pada tahun 354 H/965 M. dan wafat di Kairo pada tahun 1039 M. Ibnu al-Haitsam terkadang dipanggil dengan nama al-Bashri,nama ini dinisbatkan kepada kota kelahirannya di Bashrah,Irak. Di Eropa Ibnu Al-Haitsam lebih dikenal dengan nama Alhazen (dalam bahasa Latin), nama ini dinisbatkan kepada nama depannya yakni al-Hassan.

Saat muda Ia mendapatkan pendidikan di Basrah Irak, kemudian atas permintaan Khalifah al-Hakim bi Amrillah Ia pergi ke Mesir untuk menangani permasalahan banjir sungai Nil, namun Ia mengalami kegagalan. Sebuah sumber menyebutkan bahwa untuk menghindari hukuman berat dari al-Hakim ia kemudian berpura-pura sakit ingatan, dan hanya dihukum penjara. Konon, di dalam penjara gelap yang disinar seberkas sinar dari atas celah inilah ia mengamati berbagai fenomena optik. Terlepas dari kebenaran cerita tersebut, Ibnu al-Haitsam nyatanya menghasilkan berbagai karya dalam bidang sains alam yang sebagiannya masih bisa ditemukan hingga saat ini.

Kecintaannya kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir. Selama di sana Ia melakukan beberapa penyelidikan mengenai aliran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang cadangan dalam menempuh perjalanan menuju Universitas Al-Azhar.

Al-Haitsam akhirnya dapat mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar yang didirikan pada masa Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah itu, secara otodidak, Ia mempelajari hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, fisika, dan filsafat.

Secara serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan perbagai data penting mengenai cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul buku.

Begitu besarnya kontribusi Ibnu Al-Haitsam dalam sains sehingga Irak menjadikan gambarnya sebagai mata uang pecahan 10.000 pada tahun 2003.

Ibnu al-Haitsam banyak mempelajari karya karya ilmuwan Yunani terkait dengan bidang optik yakni karya Euclides dan Ptolemy, namun setelah ditelaah terdapat banyak kekeliruan[3] dan Ibnu Al-Haitsam meluruskan pendapat kedua ilmuwan Yunani tersebut.

Sebelum Ibnu Al-Haitsam terdapat ilmuwan muslim yang lebih dahulu mengadakan penyelidikan terhadap ilmu optik,yakni Al-Kindi[4], Ia mencurahkan pikirannya untuk mengkaji ilmu optik. Hasil kerja kerasnya mampu menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta prinsip-prinsip persepsi visual. Buah pikir Al-Kindi tentang optik terekam dalam kitab berjudul De Radiis Stellarum. Buku yang ditulisnya itu sangat berpengaruh bagi sarjana Barat seperti Robert Grosseteste dan Roger Bacon.

Seabad kemudian, sarjana Muslim lainnya yang menggembangkan ilmu optik adalah Ibnu Sahl (940 M - 1000 M). Sejatinya, Ibnu Sahl adalah seorang matematikus yang mendedikasikan dirinya di Istana Baghdad. Pada tahun 984 M, dia menulis risalah yang berjudul On Burning Mirrors and Lenses (pembakaran dan cermin dan lensa). Dalam risalah itu, Ibnu Sahl mempelajari cermin membengkok dan lensa membengkok serta titik api cahaya.

Ibnu Sahl pun menemukan hukum refraksi (pembiasan) yang secara matematis setara dengan hukum Snell. Dia menggunakan hukum tentang pembiasan cahaya untuk memperhitungkan bentuk-bentuk lensa dan cermin yang titik fokus cahanya berada di sebuah titik di poros.

Ibnu Al-Haitsam banyak mengambil rujukan dari kedua tokoh ini. Menurut Howard Turner, Al-Haitham adalah sarjana Muslim yang mengkaji ilmu optik dengan kualitas riset yang tinggi dan sistematis. "Pencapaian dan keberhasilannya begitu spektakuler,'' puji Turner.

Ibnu Al-Haitsam telah banyak menulis buku-buku mengenai ilmu optik dan ilmu-ilmu lainnya. Di antara buku, risalah dan makalahnya, hilang sebagaimana hilangnya peninggalan ilmu-ilmu masa silam.Buku-buku yang masih tersisa di antaranya telah ditemukan di perpustakaan Istambul dan London serta perpustakaan lainnya. Di antara karyanya yang masih bisa diselamatkan dari kepunahan adalah kitabnya yang paling besar Al-Manazhir yang meliputi teori-teori temuan jeniusnya di bidang ilmu sinar. Buku ini menjadi rujukan dasar di bidang ilmu mata sampai abad ke-17 M sesudah diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Kitab Al-Manazhir merupakan penggerak di bidang ilmu mata.

Al-Manazhir—Opticae Theasaurus

Salah satu karya monumental Ibnu Al-Haitsam adalah Al-Manazhir (Bahasa Arab : Bayt Al-Muzlim) yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin dengan nama Opticae Theasaurus. Sebagian besar isi dari buku ini menjelaskan tentang optik. Metode yang dipakai oleh Ibnu Al-Haitsam dalam menulis kitab Al-Manazhir adalah metode eksperimen, sebuah metode ilmiah yang dipakai jauh sebelum orang-orang Barat mengggunakannya.

Ibnu Al-Haitsam mengatakan, kami memulai pembahasan dengan menetapkan sesuatu yang telah ada,menyelidiki teori, membedakan klasifikasinya, mengambil ketetapan apa yang dikhususkan mata saat melihat, dan itu sumber utama yang tidak pernah berubah, kenyataan yang tidak menyerupai tatacara panca indra. Kemudian diangkat dalam pembahasan dan menganalogikan secara berangsur-angsur dan berurutan dengan mengkritik apa yang diutarakan lalu mengambil kesimpulan. Kami menjadikan hal itu sebagai tujuan semula yang kami tetapkan. Kami selidiki untuk dipergunakan secara adil bukan hanya mengikuti hawa nafsu. Kami bebas dengan seluruh apa yang kami pilih dan istimewakan atau mengkritiknya untuk mencari kebenaran, tidak berpihak pada salah satu dari pendapat-pendapat.[5]

Buku ini menjelaskan gambaran penglihatan mata. Ia juga memasukkan metode baru tentang penafsiran pandangan mata. Ibnu Al-Haitsam menulis masalah mata hampir dua puluh empat materi. Dalam kitabnya Ibnu Al-Haitsam tidak menghilangkan teori-teori Bathlemus. Ia mensyarahkan dan mengambil sebagian teorinya untuk disejajarkan dan dijadikan sebagai acuan. Bahkan, Ia menolak sejumlah teori dalam ilmu cahaya setelah Ia menemukan teori baru yang menjadi cikal bakal ilmu mata pada masa mendatang.

Bathlemus menyatakan bahwa penglihatan bisa sempurna dengan sarana cahaya yang memantul dari mata ke benda yang terlihat. Para ilmuwan membenarkan teori ini, kemudian datanglah Ibnu Haitsam membetulkan teori tersebut. Ia menjelaskan bahwa penglihatan bisa sempurna dengan sarana cahaya yang memantul dari bendayang dilihat, dari arah mata yang melihat. Serangkaian penemuan yang diungkap Ibnu Al-Haitsam menjelaskan bahwa pancaran sinar itu menyebar melalui garis lurus sejajar yang terkandung di tengah-tengah dua jenis. Demikian ditetapkan dalam bukunya Al-Manazhir.

Dalam Kitab Al-Manazhir, Ibnu Haitham juga telah menjelaskan mengenai  warna matahari terbenam serta beragam fenomena fisika seperti bayangan, gerhana, dan pelangi, dan spekulasi pada fisik alami cahaya.

Berikut ini adalah penjelasan Ibnu al-Haitham dalam Kitab al-Manazhir yang terbukti kebenarannya berdasarkan optik modern:

"Ia menjelaskan bahwa penglihatan merupakan hasil dari cahaya menembus mata dari benda, dengan demikian merupakan bantahan terhadap kepercayaan kuno yang mengatakan bahwa sinar penglihatan datang dari mata."

"Ia menunjukkan bahwa wilayah kornea mata adalah lengkung dan dekat dengan conjunctiva/penghubung, tetapi kornea mata tidak bergabung dengan conjunctiva."

"Ia menyarankan bahwa permukaan dalam kornea pada titik di mana ia bergabung dengan foramen mata menjadi cekung sesuai dengan lengkungan dari permukaan luar. Tepi-tepi permukaan foramen dan bagian tengah daerah kornea menjadi bahkan namun tidak satu. "

''Ia terus berupaya oleh penggunaan hiperbola dan geometri optik ke grafik dan merumuskan dasar hukum pada refleksi/penyebaran, dan dalam atmospheric dan pembiasan sinar cahaya. Dia berspekulasi  dalam bidang electromagnetic cahaya, yakni mengenai kecepatan, dan perambatan garis lurus. Dia merekam pembentukan sebuah gambar dalam kamera obscura saat gerhana matahari (prinsip dari kamera pinhole).''

''Ia menyatakan bahwa lensa adalah bagian dari mata yang pertama kali merasakan penglihatan.''

''Ia berteori  mengenai bagai mana foto dikirim melalui saraf optik ke otak dan membuat perbedaan antara tubuh yang bercahaya dan yang tidak bercahaya.''[6]

Selanjutnya dalam Al-Manazhir ,khususnya dalam teori pembiasan, diadopsi oleh Snellius dalam bentuk yang lebih matematis. Tak tertutup kemungkinan, teori Newton juga dipengaruhi oleh al-Haytham, sebab pada Abad Pertengahan Eropa, teori optiknya sudah sangat dikenal. Karyanya banyak dikutip ilmuwan Eropa. Selama abad ke-16 sampai 17, Isaac Newton[7] dan Galileo Galilei[8], menggabungkan teori al-Haytham dengan temuan mereka.  Juga teori konvergensi cahaya tentang cahaya putih terdiri dari beragam warna cahaya yang ditemukan oleh Newton,  juga telah diungkap oleh al-Haytham abad ke-11 dan muridnya Kamal ad-Din abad ke-14.

Siapa saja yang menelaah kotab Al-Manazhir dan bab-bab yang berhubungan dengan cahaya dan lainnya niscaya akan mengetahui bahwa Ibnu Al-Haitsam telah menemukanilmu cahaya dengan temuan baru yang belum didahului oleh siapapun. Ia mengarang kitab ini pada tahun 411H/1021M dan membuahkan kejeniusan di bidang matematika,kejeliannya di bidang kedokteran,eksperimen ilmiah,hingga dapat sampai pada satu nilai yang diletakkan pada nilai yang sangat tinggi di ruang lingkup ilmu pengetahuan. Ia menjadi salah seorang pencipta dasar-dasar ilmu dan mengubah pandangan ilmuwan dalam banyak hal dalam ruang lingkup masalah diatas.[9]

Salah satu ilmuwan Mesir yang menelaah kitab-kitab peninggalan Ibnu Al-Haitsam adalah Musthafa Nazhif.

Pemikiran Ibnu Al-Haitsam Mengenai Optik

Pada awalnya, masalah mata menurut bangsa Yunani meliputi dua pendapat yang saling bertentangan. Pertama, masuk, artinya masuknya sesuatu semisal materi ke dalam dua kelopak mata. Kedua, menghantar, artinya terjadinya pandangan(mata) itu ketika menghantar sinar dari kedua mata yang dikemukakan oleh materi yang dilihat. Pada waktu itu bangsa Yunani tenggelam dalam peradaban yang mengatakan bahwa mata bekerja sebagaimana dua pendapat diatas. Aristoteles dengan penuh kesungguhan membawa satu perincian pamungkas tentang itu. Demikian juga dengan Euclides di sela-sela kesungguhannya, teori kedua ilmuwan ini hanya sebataspada penjelasan sempurna tentang mata. Mereka melupakan unsur-unsur fisika, fisiologi, psikologi pada pandangan kasat mata. Mereka berpendapat, pandangan mata terjadi dalam materi tipis yang penyebabnya adalah penglihatan berpijar yang menghantar ke arahnya, yang terjadi disebabkan cahaya, bukan pandangan. Sesuatu yang dipandang dalam sudut besar akan terlihat besar, dan pandangan yang melihat dalam sudut kecil akan tampak kecil. Sementar Bathlemus meskipun memulai tentang petunjuk mata antara ilmu arsitektur dan ilmu fisika, dia bermasalah di akhir penelitiannya, karena apa yang digunakannya sebatas persangkaan, Sebagai hasil temuan untuk sampai pada realita, eksperimen kadang berlaku seiring perjalanan terhadap teori itu.[10]

Ibnu Haitsam mula-mula mengadakan kajian terhadap teori-teori Euclides dan Bathlemus[11] dalam bidang mata. Lalu Ia menjelaskan kesalahansebagian teori-teori itu. Di sela-sela itu Ia menerangkan sifat rinci tentang mata dan lensa mata dengan perantara kedua mata. Ia menjelaskan radiasi pecahnya cahaya sinar saat menembus udara yang meliputi bulatan bumi secara umum, Ia pecah dari kelurusannya. Ia juga meneliti kebalikannya dan menjelaskan sudut-sudut susunan hal itu. Ia juga meneliti proses bintang langit yang tampak di ufuk saat tenggelam sebelum sampai kepadanya secara nyata, dan kebalikan yang benar saat tenggelam. Kondisi itu tetap terlihat di ufuk setelah bintang tertutup di bawahnya.

Dalam hal teori penglihatan, Ibnu Al-Haitsam juga meluruskan pemikiran Euclides[12] dan Ptolemy. Euclydes dan Ptolomeus berpendapat bahwa sebabnya maka kita menampak barang-barang yang berkeliling kita adalah lantaran mata kita mengirimkan sinar kepada barang-barang itu. Ibnu Haitham memutar teori itu dan menerangkan bahwa bukanlah oleh karena ada sinar yang dikirimkan oleh mata kepada barang2 yang kelihatan itu, tetapi sebaliknya yaitu matalah yang menerima sinar dari barang-barang itu yang lantas melalui bahagian mata yang dapat dilalui cahaya (transparant) yakni, lensa mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun