Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia kembali memanas, kali ini dengan drama pengusiran diplomat yang saling berbalas. Konflik ini dipicu oleh langkah AS yang mengusir 12 perwakilan Rusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Washington menuduh para diplomat tersebut melakukan aktivitas spionase yang membahayakan keamanan nasionalnya. Sebagai respons, Rusia menyatakan 12 diplomat AS sebagai persona non grata, memaksa mereka meninggalkan wilayah Rusia. Kementerian Luar Negeri Rusia menegaskan bahwa tindakan ini merupakan pembalasan atas langkah "permusuhan" AS sebelumnya. Sementara itu, AS menyebut langkah Rusia tidak membantu hubungan bilateral yang sudah tegang. Fenomena ini menunjukkan bagaimana konflik antarnegara dapat memanifestasikan diri dalam bentuk tindakan diplomatik yang eskalatif, mempertegas rivalitas panjang antara dua kekuatan besar dunia.
Persona Non Grata dalam Perspektif Hukum Internasional
Konsep persona non grata diatur dalam Pasal 9 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Pasal tersebut memberikan hak kepada negara penerima untuk menyatakan diplomat asing sebagai persona non grata tanpa harus memberikan penjelasan. Negara pengirim diwajibkan menarik diplomat tersebut atau menghentikan fungsinya dalam jangka waktu yang wajar. Jika tidak, negara penerima berhak menolak keberadaan diplomat tersebut. Tindakan Rusia terhadap diplomat AS didasarkan pada prinsip ini, dengan tambahan justifikasi berupa asas resiprositas sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Konvensi Wina. Dalam banyak kasus, pengusiran diplomat sering kali digunakan sebagai alat politik, baik untuk merespons pelanggaran maupun sebagai strategi balasan, seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Politisasi atau Kepentingan Keamanan?
Dalam konflik ini, pengusiran oleh kedua pihak tampaknya tidak semata-mata didasarkan pada ancaman nyata, tetapi juga pada dinamika politik internasional. Tuduhan spionase yang dilayangkan AS terhadap diplomat Rusia belum terbukti secara menyeluruh di ruang publik, sementara Rusia secara terbuka menjadikan langkah tersebut sebagai pembalasan langsung. Penggunaan konsep persona non grata dalam hubungan diplomatik sering kali menjadi alat politik untuk menunjukkan ketegasan kedaulatan negara. Rusia berpegang pada hak kedaulatan mereka sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina, sama seperti yang dilakukan AS. Namun, dalam banyak kasus, tindakan seperti ini dapat memperburuk hubungan bilateral dan mengurangi potensi dialog yang produktif.
Kasus pengusiran diplomat ini mengingatkan pada situasi serupa di masa Perang Dingin. Salah satu yang terkenal adalah pengusiran Atase Militer Uni Soviet Sergei P. Egorov oleh AS atas tuduhan spionase. Namun, berbeda dengan kasus Egorov yang memiliki bukti spesifik, konflik AS-Rusia kali ini lebih banyak didorong oleh eskalasi politik daripada bukti yang dipaparkan secara transparan. Pengusiran diplomat dalam jumlah besar tidak hanya mencerminkan ketegangan antara AS dan Rusia, tetapi juga menambah daftar panjang gesekan diplomatik yang dapat memengaruhi stabilitas geopolitik global. Langkah ini semakin mempersulit upaya untuk mencari titik temu dalam isu-isu krusial seperti keamanan internasional, konflik regional, dan pengendalian senjata nuklir. Sebagai negara dengan pengaruh besar, tindakan AS dan Rusia cenderung menjadi preseden bagi negara-negara lain dalam menyikapi konflik diplomatik. Namun, terlalu sering menggunakan persona non grata sebagai alat politik dapat melemahkan prinsip-prinsip diplomasi yang seharusnya menjadi solusi damai dalam menyelesaikan perselisihan antarnegara.
Kasus persona non grata antara AS dan Rusia bukan hanya tentang pengusiran diplomat, tetapi juga cerminan dari rivalitas yang mendalam di antara kedua negara. Langkah-langkah ini, meski sah secara hukum internasional, lebih sering digunakan sebagai alat politik daripada sekadar penegakan aturan. Dengan dinamika seperti ini, masa depan hubungan kedua negara semakin sulit diprediksi, meninggalkan pertanyaan apakah diplomasi akan kembali menemukan jalannya di tengah persaingan geopolitik yang terus memanas.
Referensi:
https://news.detik.com/internasional/d-5998156/balas-dendam-rusia-usir-diplomat-as-usai-perwakilannya-di-pbb-diusir, diakses 14 Maret 2024
Kapahese, Injil Vigili Milinia, and Thor Bangsaradja Sinaga Harold Anis. “Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Antar Negara Menurut Perspektif Hukum Internasional.” Jurnal Lex Administratum 9, no. 3 (2021)
Konvensi Wina Tahun 1961 Tentang Hubungan Diplomatik
Mangku, Dewa Gede Sudika. “Persona Non Grata Dalam Kasus Penangkapan Atase Militer Uni Soviet Sergei P. Egorov Berdasarkan Konvensi Wina.” Pandecta Research Law Journ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H