Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selisik Hati

2 Oktober 2022   22:04 Diperbarui: 2 Oktober 2022   22:13 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aduh, Bapak kok bau pesing sekali, ya? Pakai pampers ya, Pak? Biar air kencing nggak ke mana-mana," pintaku pada lelaki sepuh yang kini setiap berjalan selalu  memakai tongkat kayu.

Lelaki itu selalu begitu, tidak mau mengakui dan berkata jujur saat kutanya perihal kondisinya yang semakin lemah. Padahal di lantai banyak  percik air  berwarna agak kekuningan, berbau pesing, yang kuduga merupakan air kencing Bapak.

"Nggak, aku nggak pipis, kok. Aku ke kamar kecil jika mau pipis," jawab Bapak dengan mimik datar tanpa rasa bersalah.

Apa jangan-jangan Bapak sudah lupa atau pikun, ya, nggak ngerti jika sudah pipis di mana pun, batinku mencoba menganalisa.

Aku hanya mendengus pelan saat mendengar pengakuan lelaki itu. Namun, di lubuk hati terdalam selalu diliputi rasa kasihan dan prihatin pada Bapak. Meskipun raganya makin melemah, tetapi selalu menampakkan garis ketegaran dan kekuatan.

Satu sisi  sikap positif yang dimiliki Bapak, lelaki berkumis, yang masih menampakkan sisa-sisa ketampanannya meskipun sudah berumur tujuh puluh lima tahun.

Perubahan fisik serta psikhis Bapak sudah kusampaikan pada beberapa kakakku. Memang tempat tinggalku paling sekat dengan rumah Bapak, hingga setiap perubahan lelaki itu menjadi bahan diskusi anggota keluarga.

Sejak Bapak bercerai dengan Ibu, sekitar tiga puluh tiga tahun yang lalu, tidak pernah terselip niat untuk menikah lagi. Begitu juga Ibu. Perempuan itu dengan tekad sekuat tenaga membesarkan dan mendidik aku dan keempat saudaraku hingga kini  semua sudah menjadi orang yang sukses.

Perpisahan Bapak dan Ibu dipicu sikap laki-laki itu yang sering main tangan.  Tangis Ibu kadang begitu menyayat hati, tetapi apalah daya. Diriku hanya mampu ikut menangis karena tidak mampu mencegah Bapak yang ringan tangan. Tangan kuat dan kekar Bapak seakan sudah begitu refleks mendarat di wajah Ibu.

Akibat perlakuan itu, tentu Ibu mengalami luka lahir batin. Perempuan yang tidak mudah tersenyum, tetapi mempunyai tekad kuat itu menyambung hidup dengan berjualan. Apa pun Ibu lakukan, demi pendidikan kelima anaknya.

Aku sejak kecil juga selalu melihat perlakuan Bapak pada Ibu. Kata-kata kasar dan fisik yang sering terluka, membuat Ibu makin tegar. Ibarat tanah, semakin diinjak akan semakin kokoh dan kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun