"Hm ... gini, mengapa Diana suka marah-marah sekarang. Aduh, Mbak Sri jadi takut menyapa. Apakah Diana punya masalah di sekolah, atau ada yang nakal?"
Diana hanya menggeleng pelan. "Nggak, Mbak. Aku sebel banget pada Mas Rio, Mbak."
"Hah, sebel gimana maksudnya? Kan biasanya Diana juga main di rumahnya."
"Kemarin aku dibohongi, Mbak. Disuruh masuk, katanya ada kucing hitam baru yang bagus. Padahal kucingnya ya hanya biasa, Moci yang biasa ke sini. Tangannya dilambaikan memintaku  untuk masuk ke rumahnya. Saat itu gak ada siapa-siapa."
"Terus?" tanya Mbak Sri tidak sabar ingin mengetahui kelanjutan cerita Diana.
"Aku diajak masuk ke kamarnya, lalu dikunci semua pintu. Gordyn ditutup rapat. Habis itu aku disuruh tiduran di pinggiran kasur."
Mbak Sri tampak menahan napas. Perempuan itu seakan menyimpan sesuatu yang ingin diucapkan, tetapi diurungkan.
"Mbak, terus celanaku diminta untuk dilepaskan, aku ditindihnya. Aduh sakit sekali waktu itu. Aku bilang padanya sudah, sudah, begitu. Terus dia berhenti menindihku, tetapi aku sudah  sakit."
Mbak Sri ingin menjerit tetapi ditahannya. Berkali-kali Mbak Sri mengelus dadanya.
"Mbak, aku terus minta pulang, karena terasa sakit iniku. Oh, ya, aku diberi uang lima ribu rupiah, tetapi Mas Rio memintaku untuk tidak bercerita pada siapa pun. Jadi sekarang Diana takut, Mbak, jika ketemu Mas Rio. Janji, ya Mbak, jangan cerita pada siapa-siapa."
Mata Mbak Sri terlihat memerah. Bu Rumi dan Pak Adi terlihat lemas saat mendengar cerita Diana. Tidak disangka selama ini, tetangganya yang terlihat baik, ternyata sudah melakukan pelecehan seksual terhadap putrinya.