"Mas, makanan ini dari mana? Dari janda genit sebelah itu lagi, ya? Awas, hati-hati, lho Mas. Jangan-jangan ada peletnya, nanti kena guna-guna," protesku pada Mas Haris.
Pagi itu Bu Wati__tetanggaku yang janda__ memberikan sebuah mangkuk berisi gulai jeroan.
"Hus, jangan asal ngomong, Bu. Salah-salah menjadi fitnah, nanti," jawab Mas Haris dengan mata sedikit memelotot.
"Ya, gimana nggak curiga, hampir saban hari dia memberi makanan, atau apa entahlah mungkin sekadar sebagai sarana pendekatan. Nah, siapa tahu kecurigaanku benar, ya, kan, Mas?" Mulutku agak manyun menahan rasa kecewa dan curiga.
Mas Haris dengan cepat menutup mulutku dengan kedua telapak tangannya. Dia memang paling tidak suka dengan keributan yang terjadi dalam keluarga.
Reaksinya menutup mulutku sudah merupakan isyarat keras bagiku untuk berhenti mengomel. Apalagi saat pagi hari. Katanya mengomel pagi hari menyebabkan jauh dari rezeki. Entahlah benar atau tidak, tetapi dia paling tidak suka dengan ocehanku pagi itu. Dia pun berlalu, membereskan keperluannya untuk segera berangkat kerja.
Meski wajahku ditekuk, karena sedikit kecewa atas sikapnya, terpaksa aku pun menerima protesnya. Kupandangi gulai jeroan itu, lalu kulompati tujuh kali.
Teringat kata orang tuaku dulu, untuk menolak kiriman santet, maka barang pemberian orang lain harus dilangkahi dulu, agar tidak mempan.
Ini sudah kesekian kali oleh-oleh atau makanan yang sengaja diberikan janda itu pada keluargaku.
Aku, Hima, seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih berusia belasan tahun. Â Lima belas tahun yang lalu aku dinikahi Mas Haris. Kini, aku tinggal di rumah kecil yang dibeli dengan hasil jerih payah Mas Haris sebagai pegawai swasta.
Kehidupanku dapat dikatakan cukup secara ekonomi, kondisi keluarga juga aman, tidak ada masalah. Justru akhir-akhir ini, kadang ada sedikit gejolak setelah Bu Wati yang merupakan janda ditinggal mati suaminya beberapa bulan yang lalu, suka memberikan sesuatu.