"Kang, sebenarnya aku nggak rela jika kita berjarak, lho. Kok perasaanku jadi nggak enak gini, ya?" keluhku pada Kang Mursidi yang sebentar lagi akan pergi ke luar pulau untuk bekerja. Kugenggam erat tangan kekarnya, seakan takut untuk berpisah. Makin hari kenapa rasa sayangku padanya malah bertambah besar.
Kami melewati malam yang  dingin ini, di teras rumah. Rumah tua  yang berdinding anyaman bambu,  diterangi lampu dengan watt kecil, membuat suasana semakin syahdu.  Kulihat Kang Mursidi kembali menyulut rokoknya. Entah ini sudah batang yang ke berapa.
Musim kemarau tahun ini cukup panjang, tidak seperti biasanya. Saat siang hari, begitu terik, Â dan jika malam tiba, semilir angin seakan menggerogoti tiap sendi. Jaket lusuh yang kukenakan, seakan tidak mampu lagi menahan hawa dingin yang meninabobokan netraku.
Suasana desa saat itu sudah sepi, hanya sesekali terdengar kokok ayam dan binatang malam yang rajin menyapa.
Aku dan Kang Mursidi duduk di balai-balai yang dibuat dari anyaman bambu  sederhana.
Laki-laki yang menikahiku  hampir dua bulan ini memang  sudah bertekad untuk mencari nafkah di luar pulau. Maklum saja, sawah dan ladang juga tidak punya.
Selama ini, Kang Mursidi bekerja sebagai buruh. Buruh tani pun saat ini kurang menjanjikan penghasilannya. Buruh serabutan juga hanya sesekali waktu saja.
Padahal untuk makan tiap hari harus ada penghasilan yang pasti. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya Kang Mursidi pun ingin mengadu untung ke luar pulau.Â
Ajakan salah satu saudaranya yang telah sukses secara materi di pulau tersebut, menguatkan keinginan lelaki yang bakal jadi bapak anakku nanti.
      Begitulah Kang Mursidi, satu-satunya yang dia miliki adalah niat dan tekad yang kuat untuk meraih kesejahteraan. Seperti janjinya sejak awal saat akan menikahiku.
"Yul, aku memang tidak terlahir jadi orang kaya, yang kumiliki hanya kemauan dan tekad untuk mengubah hidup jadi lebih baik. Kamu mau to sama-sama berjuang dari nol denganku?" kata Kang Mursidi sambil mendekapku di dadanya.