"Maaf, Bu, kami dari kepolisian menangkap anak Ibu karena terlibat perdagangan narkoba. Ini surat tugas kami, resmi dari kantor," kata lelaki tegap itu sambil menunjukkan lembaran surat tugas.
Bu Maryam merasa syok menegetahui bahwa Solihin yang selama ini terlihat  sebagai anak yang salih, tidak neka-neka, ternyata bermasalah dengan hukum. Dada sebelah kirinya selalu dipegangi karena terasa nyeri.
"Baiklah, Bu, kami mohon pamit. Saudara Solihin kami bawa ke kantor untuk diproses sesuai hukum yang berlaku."
Kini Bu Maryam tidak mampu menangis lagi. Dunia serasa gelap. Tiba-tiba tubuhnya ambruk. Untung saja ada beberapa orang yang sempat menahan tubuh rentanya. Bu Maryam pingsan.
***
Sehari setelah penangkapan Solihin, Bu Maryam nampak murung. Wajahnya terlihat mendung, dan lebih banyak diam. Keluar rumah pun malas, karena merasa malu pada warga sekitar. Berita penangkapan Solihin pun begitu cepat menyebar.
"Bu, makan dulu, sejak pagi kan Ibu tidak makan. Meski hati Ibu sedih, tetapi harus tetap menjaga kesehatan, Bu," rayu Rina adik Solihin.
Bu Maryam hanya diam. Yang ada di pikirannya hanya anak laki-laki satu-satunya, Solihin.
"Nanti jika Ibu  lapar pasti makan, Nduk. Ibu masih belum percaya pada peristiwa tadi malam. Kakakmu itu bagaimana kok bisa ditangkap polisi. Ibu betul-betul malu pada almarhum Bapakmu. Beliau pasti ikut bersedih bila mengetahui anaknya masuk penjara," jelas Bu Maryam yang tidak mampu lagi menyembunyikan kesedihannya. Kembali Bu Maryam terisak. Lalu disenderkannya tubuh  tuanya di kursi kayu yang sudah cukup usang itu.
Bu Maryam adalah seorang janda dengan dua anak, yaitu Rina dan Solihin. Pak Mat, suami Bu Maryam meninggal ketika Solihin berusia lima tahun. Sebagai orang desa, kehidupan Bu Maryam tak jauh dari ladang dan sawah, Â dia hanya bertani dan kadang sebagai buruh serabutan. Solihin hanya tamat SMP karena terbentur biaya, sehingga tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih lebih tinggi. Rina juga tamat SMP, kemudian bekerja membantu Ibunya sebagai buruh jahit di rumah tetangganya.
Solihin lelaki tinggi kurus, dan berambut lurus itu memang pendiam dan tidak nampak berperilaku buruk. Setelah tamat SMP dia bekerja serabutan. Â Dari hasil kerjanya, sebagian diberikan pada Ibunya. Ketika malam tiba, banyak keluar rumah hingga larut, bahkan kadang sampai pagi hari. Namun akhir-akhir ini, dia lebih dekat dengan sebuah kelompok di lain dusun, yang sering mabuk karena minuman keras. Entah mulai kapan Solihin tertarik bergabung dengan mereka tidak diketahui dengan jelas.