Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panggilan Pohon Gayam

3 Oktober 2020   22:56 Diperbarui: 3 Oktober 2020   22:58 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti biasa, Warni pulang hingga larut, sekitar pukul sembilan malam. Kadang anak-anak juga sudah mengantuk,  menunggu kedatangan Warni_ ibunya, hingga tertidur di depan televisi. Yang diharapkan anak-anak adalah oleh-oleh seperti pesanannya setiap pergi berdagang di pasar.

Warni seorang perempuan yang cukup tangguh. Meski suaminya telah lama menceraikannya, dia tetap bertahan menjadi seorang single parent dengan berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi anak-anaknya yang masih bersekolah semuanya.

Berbagai cara mendapatkan rezeki yang halal, selalu dilakoninya. Tidak peduli pada cibiran tetangga kanan kirinya, yang penting anak-anak tetap dapat bersekolah dengan baik.

Jalan menuju rumah Warni melewati beberapa kebun dan rumah kuno yang cukup besar. Di rumah kuno itu terdapat beberapa patung yang di pajang di atas tugu masuk pekarangan Den Tejo. Di sekitar kebun yang dimiliki Den Tejo, banyak ditumbuhi tanaman, seperti pohon gayam, pohon pisang, pohon mahoni dan beberapa pohon lain yang menambah rungkut pekarangan tersebut.

Untuk menyingkat waktu pulang, Warni selalu melewati pekarangan Den Tejo pada jam yang sudah cukup malam, sekitar pukul sembilan.

Warni berjalan sendirian, hanya  ditemani senter. Pekarangan itu cukup gelap, wajar saja setiap kali lewat di situ, Warni mulutnya selalu komat-kamit. Rapalan doa dia ucapkan semampunya.

Entah sudah berapa tahun pekarangan itu dia lewati setiap malam, hingga selalu ada suara yang memanggil namanya ketika sampai di  daerah itu.

"Warni ... Warni ...."

Mulanya Warni merasa dag dig dug juga ketika namanya beberapa kali dipanggil. Tidak masuk akal rasanya,  di pekarangan yang gelap dan penuh pohon besar, ada yang mengenal namanya. Warni yakin, itu pasti bukan suara manusia.

Warni pun bertekad tidak akan pernah menyahut atau menoleh ke belakang ketika namanya disebut, karena takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan.

Malam ini, entah panggilan yang ke berapa, suara itu kembali menyebut namanya tepat ketika Warni lewat  di bawah pohon gayam yang cukup rindang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun