Seperti biasa, Warni pulang hingga larut, sekitar pukul sembilan malam. Kadang anak-anak juga sudah mengantuk, Â menunggu kedatangan Warni_ ibunya, hingga tertidur di depan televisi. Yang diharapkan anak-anak adalah oleh-oleh seperti pesanannya setiap pergi berdagang di pasar.
Warni seorang perempuan yang cukup tangguh. Meski suaminya telah lama menceraikannya, dia tetap bertahan menjadi seorang single parent dengan berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi anak-anaknya yang masih bersekolah semuanya.
Berbagai cara mendapatkan rezeki yang halal, selalu dilakoninya. Tidak peduli pada cibiran tetangga kanan kirinya, yang penting anak-anak tetap dapat bersekolah dengan baik.
Jalan menuju rumah Warni melewati beberapa kebun dan rumah kuno yang cukup besar. Di rumah kuno itu terdapat beberapa patung yang di pajang di atas tugu masuk pekarangan Den Tejo. Di sekitar kebun yang dimiliki Den Tejo, banyak ditumbuhi tanaman, seperti pohon gayam, pohon pisang, pohon mahoni dan beberapa pohon lain yang menambah rungkut pekarangan tersebut.
Untuk menyingkat waktu pulang, Warni selalu melewati pekarangan Den Tejo pada jam yang sudah cukup malam, sekitar pukul sembilan.
Warni berjalan sendirian, hanya  ditemani senter. Pekarangan itu cukup gelap, wajar saja setiap kali lewat di situ, Warni mulutnya selalu komat-kamit. Rapalan doa dia ucapkan semampunya.
Entah sudah berapa tahun pekarangan itu dia lewati setiap malam, hingga selalu ada suara yang memanggil namanya ketika sampai di  daerah itu.
"Warni ... Warni ...."
Mulanya Warni merasa dag dig dug juga ketika namanya beberapa kali dipanggil. Tidak masuk akal rasanya, Â di pekarangan yang gelap dan penuh pohon besar, ada yang mengenal namanya. Warni yakin, itu pasti bukan suara manusia.
Warni pun bertekad tidak akan pernah menyahut atau menoleh ke belakang ketika namanya disebut, karena takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Malam ini, entah panggilan yang ke berapa, suara itu kembali menyebut namanya tepat ketika Warni lewat  di bawah pohon gayam yang cukup rindang.