Kejam sebenarnya, tetapi memang tipe kakakku agak pendendam, jadi mungkin sikapnya sudah merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi.
***
"Mas, jangan-jangan kendurinya berupa sembako ya," ucapku sekenanya beberapa menit sebelum suamiku pergi untuk kenduri di rumah Nurjanah.
Seperti biasa, suamiku hanya menatapku, dan tidak ada jawaban dari mulutnya.
Aku sengaja tidak memasak untuk berbuka sore ini, karena berharap mendapat nasi kenduri dari Nurjanah. Aku pun juga sudah berjanji pada  ibu-ibu  untuk bezuk ke beberapa anggota perkumpulan yang sedang sakit, jadi hanya memasak air saja untuk membuat teh hangat.
Aku nggak masak saja, ah, kan ada kenduri, bisik hatiku yang terlalu berharap mendapat nasi untuk berbuka nanti.
Menjelang magrib, aku baru pulang dari bezuk. Betapa kagetnya diriku, mendapatkan suamiku dan anak-anak yang berbuka puasa menggunakan nasi bungkus. Perlahan kudekati mereka. Kulihat anak-anakku makan dengan nasi padang, dengan lauk kesukaannya.
"Lo, kan mendapat kenduri, kenapa berbuka pakai nasi bungkus?" tanyaku keheranan.
Suamiku hanya tersenyum kecil, sambil terus menikmati nasi bungkusnya.
"Mas, memang kendurinya berupa sembako, ya? Kok berbuka pakai nasi bungkus?"
Suamiku tidak mau diganggu saat berbuka, dan hanya menunjukkan tas kresek besar  warna putih yang di dalamnya tampak beberapa sembako seperti minyak goreng, beras, telur, mie instan, mie kering, biskuit, gula dan teh, dengan wadah panci plastik besar.