Mohon tunggu...
Zul Majjaga
Zul Majjaga Mohon Tunggu... Politisi - Kalolona Syamsul B Majjaga

Belajar itu menulis apapun yang memungkinkan untuk di sempurnakan oleh orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keadilan Sosial, Keistimewaan Makassar, dan Fiksi Spekulatif

27 Februari 2020   07:09 Diperbarui: 1 Maret 2020   16:58 2448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kehidupan fiksi. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Saya menemukan metafora yang sangat menggugah ini cukup kuat untuk menggambarkan apa yang dirasakan setiap orang didalam kehidupan warga kota Makassar. Masyarakat Makassar seakan merindukan sesuatu di masa lalu yang momentum saat ini di tunggangi nya untuk mengubah dan membawa kembali warna hidup mereka, bahkan mereka sangat sudah ingin kembali menjalaninya. "Tunggama". 

Diskriminasi yang kasat mata terhadap mantan walikota Makassar yang nampaknya membawa dampak pada akses ke mata pencaharian dan partisipasi di antara mereka sesama warga, dan eksploitasi ketegangan Pilkada yang disetujui elit menjadi perekat sosial dari semakin solidnya setiap hubungan yang ingin mem pertahankan dan merindukan dengan pemerintah, keluarga, dan teman-teman --- "Tungguma", tidak ada yang akan melihat Anda dengan cara yang tidak sama lagi. 

Ini (Tunguma) adalah ekspresi dari ketidakterbukaan atas nasib yang berbeda dengan apa yang saya sebut sebagai Kematian Sosial --- keadaan "alienasi" atau perpindahan dari ikatan komunitas, waktu, dan ruang - yang bersinggungan mengerikan dengan kurangnya rasa keadilan yang menjiwai (atau melumpuhkan) beberapa cabang kebijakan aneh. 

Keputusan sombong - Limbah kebijakan, Kematian Sosial, politik antisosial - memberikan kepercayaan pada sebuah hipotesis yang saya sebut "fiksi spekulatif tungguma": gagasan bahwa setiap orang sangat memungkinkan akan mengisi wacana ketidakmungkinan, menghantui, menantang ketakutan, dan pihak lain sebagai hal yang biasa. 

Gagasan bahwa narasi warga seharusnya datang secara alami kepada kami sendiri warga kota kota Makassar yang tumbuh bersama dalam kekerabatan sosial yang harmoni. Karena itu "tungguma" adalah sepenuhnya berpartisipasi penuh dalam Zaman Akal.

Saya melihat ini dan menyebutnya: "Selama beberapa generasi di benak Makassar praktik politik lebih merupakan formula. Mereka seakan ingin mengatakan bahwa " Tungguma": adalah adalah metafora Makassar. 

Dan saya menyebutnya: dalam literatur warga, kesenjangan telah menjadi "metaforis" - cara merujuk dan menyamarkan kekuatan, peristiwa, kelas, dan ekspresi pembusukan sosial dan pembagian ekonomi yang jauh lebih mengancam tubuh politik dari pada opini pemilukada yang pernah ada.

Tungguma adalah merupakan produksi budaya imajinatif memungkinkan pemikir, pemimpin dan masyarakat mengklaim fiksi spekulatif ini dengan istilah relasi intim diantara mereka.

Dalam beberapa hal penting, " Tungguma" sebagai fiksi spekulatif, dimana dasar pengetahuannya kusandarkan pada pendapat Blackness ini tetap mengecualikan gerak fantasi alegoris yang kaya, fiksi ilmiah, permainan role playing, dan horor. 

Dengan garis-garis antara yang baik dan yang jahat ditarik dalam istilah metaforis yang begitu gamblang, Anda mungkin berharap bahwa ratusan ribu orang warga Makassar yang datang dari usia bermain game politik --- orang-orang yang kiasan paling bisa dipahami --- akan menjadi sekutu yang paling setia dalam perang melawan kebrutalan elit, persekongkolan berbasis diskriminasi, dan bentuk-bentuk lain dari arogansi institusional. 

Tapi tahukah Anda bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi. Anda mungkin berpikir bahwa suatu masyarakat yang mewujudkan mimpi terliar dari sebelumnya, mengetahui bahwa Makassar bukan lagi seputar realitas biologis sempit tetapi ia adalah fakta sosial, karena itu, dengan " tungguma" warga akan memanfaatkan kekuatan imajinasi untuk menghadapi masalah paling sulit yang pernah kita hadapi dengan cara-cara baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun