Mohon tunggu...
Zulifa Lutfiana
Zulifa Lutfiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kerentanan Perempuan sebagai Korban Perdagangan Manusia

4 Juli 2021   14:14 Diperbarui: 4 Juli 2021   19:04 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : Stephan Popov / alamy.com

Perdagangan manusia merupakan segala aktivitas jual beli manusia. Di tingkat internasional, perdagangan manusia merupakan bentuk kejahatan transnasional yang melanggar hak asasi manusia. Perdagangan manusia disebut sebagai kejahatan transnasional karena aktivitasnya yang melampaui batas-batas negara, sehingga melibatkan lebih dari satu negara. Negara yang terlibat dalam perdagangan manusia disebut sebagai negara asal dan negara tujuan. Oleh karena itu, kasus perdagangan manusia biasanya berkaitan dengan migrasi, yang melibatkan perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain. Korban dari perdagangan manusia datang dari migrasi yang datang ke suatu tempat secara legal maupun ilegal. Orang biasanya dengan sengaja bersedia memalsukan data mereka untuk dokumen keberangkatan ke suatu tempat, sehingga hal tersebut membuat mereka dikatakan menggunakan jalur ilegal. Sedangkan ada pula orang yang datang secara legal, namun pada akhirnya mereka ditipu, diselundupkan, dan diperdagangkan.

Perdagangan manusia di Indonesia sendiri dikatakan memburuk, terlebih di era pandemi ini. IOM (International Organization of Migration) mencatat jumlah kasus perdagangan manusia di tahun 2020 yang diterima IOM meningkatkan menjadi 154 kasus. Dan berdasarkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), tercatat 213 kasus perdagangan manusia pada tahun 2019 dan menjadi 400 kasus pada tahun 2020. Namun, diduga masih banyak kasus perdagangan manusia yang masih tidak diketahui. Hal ini dikarenakan kemungkinan korban perdagangan manusia, yang paling banyak adalah perempuan dan anak, merasa takut untuk melapor.


Menurut UNIFEM (UN Development Fund for Women), dalam membahas perdagangan manusia, penggunaan perspektif gender diperlukan karena posisi gender sebagai konstruksi sosial yang menentukan peran, karakter, perbuatan, dan identitas, dan memisahkan antara perempuan dan laki-laki di kehidupan bermasyarakat. Gender membuat orang memiliki kepercayaan bahwa perempuan harus seperti 'ini' dan laki-laki harus seperti 'itu'. Gender sangat berpengaruh pada status sosial, sumber daya, dan nilai budaya pada manusia. Dalam kehidupan masyarakat patriarki yang mencerminkan ketidaksetaraan gender, terdapat pandangan bahwa posisi perempuan ada di bawah laki-laki dan perempuan adalah objek untuk dikonsumsi, ditukarkan, atau dijualbelikan. Hal ini lah yang membuat perempuan kerap kali menjadi sasaran empuk bagi pelaku perdagangan manusia.

Dalam sebuah kasus perdagangan manusia yang terungkap di tahun 2018, ada dua puluh sembilan perempuan yang berasal dari Kalimantan Barat dan Jawa Barat yang dikirim ke China dengan modus perjodohan. Di sana, mereka dinikahkan dengan laki-laki China dan pada akhirnya dieksploitasi. Segala hal yang dijanjikan, seperti uang, emas, pengiriman uang kepada keluarga di Indonesia, perlakuan baik, kecukupan untuk hidup, tidak ada  yang ditepati. Mereka di sana tinggal bersama keluarga laki-laki China yang dinikahkan dan harus mengerjakan serta mematuhi semua perkataan keluarganya. Jika mereka tidak melakukan apa yang keluarga dari laki-laki suruh, mereka akan disiksa dan dipukuli. Selain itu, mereka juga tidak menerima uang sama sekali. Kasus ini memperlihatkan salah satu contoh bagaimana rentannya perempuan sebagai korban perdagangan manusia. Dalam situasi tersebut, perempuan mengalami pelecehan, kekerasan, pemaksaan, menerima ancaman, dan pelanggaran hak lainnya.


Beberapa orang beranggapan bahwa melakukan migrasi adalah cara mereka bertahan hidup. Namun, tak jarang mereka malah menjadi korban kejahatan transnasional, terlebih perempuan. Penyebab perempuan yang sangat rentan menjadi korban kejahatan adalah dikarenakan marginalisasi dan pembatasan peran perempuan dalam berbagai sektor, dari mulai ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan. Karakter dari budaya patriarki ini dapat ditemukan dari mulai hal terkecil dalam keluarga, sampai hal besar dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan yang selalu dikaitkan dengan pekerjaan domestik dan dibatasi peran serta mobilitasnya, seringkali kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam sektor ekonomi dan pendidikan. Ada pula hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, baik dari tingkat daerah maupun tingkat nasional.


Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga, menyatakan bahwa banyaknya kasus perdagangan manusia di Indonesia adalah karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat padat, adanya kemiskinan dan kesulitan dalam mencari pekerjaan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara, harus mampu melindungi rakyatnya dari kejahatan dan ancaman, serta bertanggung jawab atas korban kejahatan. Karena bagaimanapun juga, kejahatan berupa perdagangan manusia merupakan pelanggaran hak untuk bebas dan merdeka, mencari penghidupan yang layak, serta berpotensi untuk menimbulkan diskriminasi, terlebih terhadap perempuan.

Indonesia sendiri sudah berupaya untuk memberikan jaminan HAM terhadap perempuan dan memberikan perlindungan dengan meratifikasi Konvensi Segala Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all form of Discrimination Against Women) dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan manusia disahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan hukuman penjara. Ketentuan terhadap korban telah ditetapkan dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 53.


Perlindungan lain yang dapat diwujudkan kepada korban perdagangan anak adalah dalam bentuk ganti rugi, yang digunakan KUHP dalam pasal 99 ayat (1) dan (2). Adapun restitusi sebagai tanggung jawab pelaku untuk menanggulangi semua kerugian korban, dan kompensasi. Dan untuk mengurangi kejahatan perdagangan manusia yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, khususnya bagi perempuan, pemerintah diharapkan untuk tidak menyepelekan adanya fenomena kawin kontrak dan kawin paksa, serta membenahi kebijakan-kebijakan yang mengandung unsur diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, penghimbauan kepada masyarakat dan pengawasan untuk tidak mudah jatuh ke dalam tipu daya dan iming-iming janji dan materi juga perlu dilakukan.

Referensi

Alami, Atiqah N. 2013. Perdagangan Manusia dan Kerentanan Perempuan. Diakses dari http://www.politik.lipi.go.id/kolom/763-perdagangan-manusia-dan-kerentanan-perempuan , pada 3 Juli 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun