Mohon tunggu...
Zulfi Ifani
Zulfi Ifani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lahir di Magelang, namun bertahun-tahun besar di Kupang, NTT. Sehingga merasa tidak sepenuhnya berdarah Jawa. Kini sedang mengumpulkan energi untuk mengakhiri status sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM.

Selanjutnya

Tutup

Money

Bersabar Terhadap Bank Syari'ah

30 Oktober 2009   22:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tulisan ini berangkat dari refleksi saya selama menjadi nasabah bank syari'ah. Setelah merunut ke belakang, selama 6 tahun belakangan ini ada suka-duka selama menggunakan jasa perbankan syari'ah. Sehingga nantinya, poin-poin yang saya angkat pun akan berkisar pada pengalaman pribadi, bukan deskripsi ilmiah berbasis teori ekonomi Islam.

Sejak bermigrasi ke bank syari'ah pada saat kelas 1 SMA. Saya memang mendapatkan suka-duka tersendiri. Misalnya, bahwa saya adalah salah satu assabiqunal awwalun nasabah bank syari'ah di kota Magelang. Karena sesaat setelah bank syari'ah tersebut membuka cabang, tidak lama kemudian saya pun membuka rekening. Tidak berhenti sampai di situ. Saya juga bergerak di SMA layaknya seorang marketing, dengan mempromosikan keunggulan bank tersebut. Alhamdulillah, usaha ini tidak sia-sia karena beberapa kawan saya tertarik. Bahkan, pihak bank pun mengapresiasi usaha saya ini dengan memberi ganjaran bonus.

Tidak hanya pengalaman yang menggembirakan, karena ada juga pengalaman mengecewakan yang memang perlu saya utarakan di sini. Pertama, berkaitan dengan biaya administrasi (baca: potongan) rekening. Jujur saja, salah satu preferensi memilih bank syari'ah dahulu dikarenakan nihilnya  potongan bulanan. Jelas kini alasan tersebut kadaluarsa, tidak berlaku lagi.

Bayangkan saja, dalam kurun waktu 2 tahun belakangan ini, potongan rekening naik secara drastis dan mendadak. Setahun lalu, tiba-tiba muncul potongan 3.500 per bulannya. Tahun ini, secara mendadak, potongan melambung lebih dari 2 kali lipat menjadi 7.500 rupiah per bulannya. Mungkin bagi sebagian orang, jumlah tersebut tidak berarti. Akan tetapi, bagi kantong seorang mahasiswa kere seperti saya, jumlah tersebut sangatlah banyak. Apalagi bila terakumulasi terus tiap bulan, saya yakin lambat laun rekening saya akan mengering tidak bersisa.

Sempat terbersit keinginan untuk pindah ke sebuah bank konvensional yang menawarkan program rekening mahasiswa tanpa potongan. Namun, hati nurani saya mengatakan bahwa untuk tidak kembali ke lingkaran syubhat bunga bank. Karena sebagai seorang muslim yang belajar keta'atan, bank syari'ah dalam pandangan saya memang bukanlah alternatif, melainkan pilihan satu-satunya. Lagipula, tidak mungkin pula saya kembali menggunakan celengan. Maka, saya putuskan untuk bertahan, meski kecewa berat.

Pengalaman mengecewakan kedua, hadir saat saya membantu kedua orang tua menyelesaikan Ongkos Naik Haji (ONH). Sebenarnya, ada sebuah bank konvensional yang memang berpengalaman khusus menangani ONH. Namun, ayah bersikeras ingin beribadah haji dengan lebih tenang. Salah satu caranya dengan membayar via bank syari'ah, meskipun nanti harus bersusah payah.

Dugaan ayah ternyata tidak meleset. Pilihan membayar ONH via bank syari'ah tersebut memang membuat rumit berbagai hal, terutama saat harus dipingpong antara bank dengan Depag. Di lain sisi, seorang paman yang membayar via bank konvensional justru dengan mudah dan lancar menyelesaikan urusannya. Saya cukup kecewa dengan perbandingan ini. Namun, segala sesuatu memang ada hikmahnya.

Dari cerita di atas, saya lalu bertanya-tanya mengapa bank syari'ah masih begitu mengecewakan? Hemat saya, tidak mungkin selamanya faktor keimanan mampu menahan para nasabah bank syari'ah. Bank syari'ah tidak boleh semata-mata berlindung pada isu riba (bunga bank) untuk menarik nasabahnya, melainkan lebih dari itu, Ia harus fokus pada perbaikan dan peningkatan kualitas layanan. Sehingga, tidak boleh sejengkal pun bank syari'ah tertinggal dari bank konvensional.

Wal akhir, mungkin saya memang awam dengan dunia ekonomi, sehingga tidak mungkin memahami mekanisme ekonomi apa yang terjadi di belakang layar. Akan tetapi, layaknya nasabah lain, tidak mungkin saya berpeluh-peluh ikut berdebat membahas mekanisme internal apa yang terbaik. Karena yang nasabah butuhkan memang hanya kualitas pelayanan istimewa. Wallahua'lam Bishawwab.

Gambar dipinjam dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun