Mohon tunggu...
Zulfakriza Z.
Zulfakriza Z. Mohon Tunggu... Dosen - Dosen yang senang ngopi tanpa gula dan tanpa rokok

Belajar berbagi lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Panjang Sang Gunung Agung

29 Oktober 2017   22:18 Diperbarui: 30 Oktober 2017   07:33 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1: Kepulan asap di Gunung Agung pada 7 Okt 2017 (Sumber: PVMBG)

Satu bulan lebih tujuh hari Gunung Agung, Bali meradang dengan label "Awas". Dalam kurun waktu tersebut, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi tidak pernah berhenti melakukan pemantauan untuk memahami dinamika yang terjadi di Gunung Agung. Terhitung mulai tanggal 29 Oktober 2017 pukul 16.00 WITA, sebagaimana dilansir dalam  situs resmi PVMBG, status Gunung Agung berubah dari "Awas" menjadi "Siaga". Artinya saat ini statusnya turun dari level IV menjadi level III.

Gunung Agung ditetapkan status "Awas" oleh PVMBG pada 22 September 2017 berdasarkan laporan peningkatan aktivitas kegempaan yang terekam alat pemantau gempabumi di sekitar tubuh gunung. Pada saat status "Awas", masyarakat dan wisatawan di sekitar Gunung Agung sangat dihimbau untuk tidak melakukan aktivitas pada radius 9 km ditambah perluasan sektoral ke arah Utara, Tenggara dan Selatan-Baratdaya sejauh 12 km. Kondisi ini akan sangat berbahaya jika ada aktivitas masyarakat berada pada radius kurang dari 12 km. Kondisi ini mengakibatkan gelombang pengungsian yang mencapai 133.457 jiwa pengungsi di 385 titik pengungsian (sumber KOMPAS.COM). 

Pada masa darurat status "Awas" dalam kurun lebih kurang 37 hari, tentu mengakibatkan terganggunya sektor pariwisata dan pertanian. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerugian yang terjadi pada saat Gunung Agung berstatus awas diperkirakan antara 1.5 - 2 triliun rupiah. Kerugian ini terjadi akibat terhentinya aktivitas perekonomian masyarakat dan terganggunya sektor pariwisata. Angka ini akan lebih parah jika ditambah dengan korban jiwa seandainya Gunung Agung benar erupsi.

Sebuah dilema yang panjang. Dilematis yang tidak ringan dirasakan oleh Pemerintah Daerah Bali dan masyarakat yang bermukim di sekitar Gunung Agung. Terlebih lagi bagi masyarakat yang harus meninggalkan rumah, lahan pertanian dan hewan ternak. Mereka harus bersabar menunggu di lokasi pengungsian sampai ada keputusan aman dari pihak terkait untuk kembali ke desa dan rumah masing-masing.

PVMBG-Badan Geologi adalah instansi yang berwenang untuk memantau, meneliti dan memberikan keputusan setiap hal yang terkait dengan masalah kegunungapian di Indonesia. Untuk mempermudah pemantauan dan pnelitian gunung api aktif, PVMBG-Badan Geologi menempatkan pos pemantauan pada setiap gunungapi aktif tipe A di seluruh Indonesia. Pegawai yang bertugas pada pos gunungapi melakukan pemantauan secara terus-menerus baik secara visual maupun dengan menggunakan alat. Salah satu alat yang ditempatkan di tubuh gunungapi adalah seismometer, yaitu alat pendeteksi gempabumi yang terjadi akibat aktivitas gunungapi. 

Berkaca pada kasus Gunung Agung. PVMBG-Badan Geologi tentu sangat serius memantau dan berusaha memahami dinamika yang terjadi di tubuh Gunung Agung. Setidaknya ada 4 hal yang dilakukan oleh PVMBG-Badan Geologi untuk memahami dinamika yang terjadi pada Gunung Agung, yaitu:

  1. Mengamati secara visual perkembangan aktivitas Gunung Agung, pengamatan dilakukan dengan menggunakan teknologi Penginderaan Jauh Satelit dan Visual dari Pesawat Tanpa Awak (Drone)  dengan resolusi tinggi.
  2. Pemantauan aktivitas kegempaan dengan menggunakan peralatan seismometer. Data yang diperoleh dari hasil perekaman seismometer, maka dapat diperoleh informasi Konten Frekuensi Gempa. Analisis konten frekuensi gempa dilakukan untuk mengestimasi mekanisme sumber gempa vulkanik di Gunung Agung. Hasil pemantauan pola frekuensi dominan mengindikasikan adanya penurunan aktivitas kegempaan frekuensi tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa proses peretakkan batuan di dalam tubuh Gunung Agung mengalami penurunan. Namun demikian, gempa-gempa dengan konten frekuensi lebih rendah masih terekam mengindikasikan masih adanya pergerakan fluida magmatik ke permukaan.
  3. Mengaplikasikan metode geofisika seperti Ambient Seismic Noise Cross-Correlationyang bertujuan untuk mengestimasi tingkat stress dalam tubuh Gunung Agung.Lebih lanjut, mengaplikasikan metode seismologi untuk merelokasi Hiposenter/Pusat Gempa. Hal ini dilakukan karena peningkatan kegempaan pada periode September-Oktober 2017 mengindikasikan adanya peretakkan batuan di dalam tubuh Gunung Agung akibat migrasi magma dari kedalaman (30-40 km) hingga ke dekat permukaan (4-5 km).
    Namun demikian, dominasi kegempaan tertahan pada kedalaman tersebut meskipun jumlah gempa total yang terjadi telah melebihi 27 ribu gempa. Kegempaan yang lebih dangkal (1-4 km) dapat terekam namun dengan jumlah yang belum signifikan dan di antaranya dalam bentuk tremor.
  4. Melakukan analisis deformasi tubuh Gunung Agung berdasarkan data GPS. Hasil analisis tersebut mengindikasikan tidak adanya deformasi yang signifikan pada periode 2012-2016. Inflasi (penggembungan tubuh gunung) mulai teramati pada periode Februari-Maret 2017, namun inflasi yang terjadi pada periode tersebut terjadi secara aseismik (tanpa diikuti peningkatan kegempaan). Pada periode April hingga pertengahan Agustus 2017, data GPS menunjukkan pola yang stabil. Pada pertengahan Agustus 2017, inflasi kembali teramati secara konsisten dan menerus.
    Puncak inflasi ini terjadi pada pertengahan September 2017. Setelah itu, GPS mengindikasikan adanya deflasi di sumber yang dalam, namun pada sumber yang dangkal mengalami penambahan tekanan sehingga area Puncak Gunung Agung mengalami deformasi (uplift) hingga 6 cm. Sejak tanggal 20 Oktober 2017 hingga saat ini, data GPS mengindikasikan adanya perlambatan laju deformasi.

Gambar 2: Citra kawah Agung yang diambil oleh satelit Sentinel 2 pada 5 September - 10 Oktober 2017 (Sumber: PVMBG)
Gambar 2: Citra kawah Agung yang diambil oleh satelit Sentinel 2 pada 5 September - 10 Oktober 2017 (Sumber: PVMBG)
PVMBG-Badan Geologi berusaha menjawab dilema yang terjadi pada Pemda Bali dan masyarakat dengan hati-hati dan berdasarkan langkah-langkah ilmiah kegunungapian. Hal terebut sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas. Pemantauan dan kajian mendalam dilakukan oleh PVMBG-Badan Geologi terhadap Gunung Agung secara terus menerus. Hasilnya, sementara ini dapat dikatakan aktivitas Gunung Agung cenderung menurun dengan penjelasan:
  1. Analisis pola perubahan energi seismik untuk periode krisis Gunung Agung kali ini mengindikasikan bahwa penurunan yang terjadi mengalami percepatan yang semakin lambat dan cenderung mengarah ke fase relaksasi.
  2. Pemantauan secara visual dengan menggunakan drone yang dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2017 menunjukkan aktivitas hembusan gas di dalam kawah relatif menurun intensitasnya dibanding dengan kondisi sebelumnya yaitu pada 20 Oktober 2017.
  3. Pemantauan termal dengan menggunakan citra satelit Sentinel-2 selama bulan September dan Oktober 2017 merekam anomali termal berupa titik-titik tembusan gas. Intesitas anomali termal pada bulan Oktober 2017 cenderung menurun dibanding dengan bulan September 2017 (Gambar 2). Citra Satelit ASTER TIR juga mengindikasikan adanya penurunan luas area panas di dalam Kawah Gunung Agung.

Tentu kita sangat berharap, status aktivitas Gunung Agung terus menurun sampai ke kondisi normal. Dan apa yang terjadi pada tahun 1963 lalu tidak terulang kembali. Semoga!!!. (ZFZ)

Bandung, 29 Okt 2017

Referensi:

Situs resmi PVMBG-Badan Geologi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun