Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradoksal Zona Nyaman

24 Juli 2017   00:10 Diperbarui: 14 Oktober 2017   19:37 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : http://www.isigood.com

Saya masih meyakini apa yang ditulis Mochtar Lubis tahun 1977-1978 dalam bukunya "Manusia Indonesia; sebuah Pertanggung Jawaban" itu masih ada benarnya, masih relevan, dan bisa jadi akan tetap bergayut sampai kapan pun. Dalam bukunya itu, mantan wartawan dan sastrawan ini telah menggeneralisasi sifat-sifat manusia Indonesia. Padahal ketika itu, belum ada satu pun kalangan akademisi memikirkan dan membuat kesimpulan semacam itu.

Sifat manusia Indonesia yang diungkap Penulis novel "Senja di Jakarta" yang hanya lulusan Hollandsch Inlandsche  School (HIS) ini benar-benar menohok batin kita. Ada dua belas ciri yang diuangkap. Sebelas bernada negatif: hipokrit alias munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal,  percaya takhayul, watak yang lemah, tidak hemat, tidak suka bekerja keras kecuali terpaksa, tukang menggerutu / berani berbicara di belakang, cepat cemburu dan dengki, sok, dan manusia plagiat; dan satu yang positif yaitu artistik.

Tak bisa dipungkiri, hasil amatan Lubis dari aktivitas manusia Indonesia sepanjang zaman kolonial Belanda sampai era kepemimpinan Orde Baru itu tampaknya terus terjadi. Terlepas dari apa pun gaya kepemimpinan dan latar peristiwa politik pemerintahan, setiap masa seakan tetap memberikan gambaran manusia Indonesia memang seperti itu, takpernah berubah, sampai pascareformasi sekarang. Seakan takpernah malu dengan apa yang dilakukan selama ini, melegendakan ciri-ciri itu.

Saya sengaja mengungkapkan kembali apa yang ditulis oleh Lubis itu karena melihat bagaimana kondisi sebagian manusia Indonesia akhir-akhir ini. Televisi dan media sosial seakan menjadi panggung memamerkan 'kekonyolan' itu. Tokoh-tokoh yang selama ini 'dihormati' dan 'diagungkan' oleh bangsa ini begitu mudahnya ditangkap, dijadikan tersangka, dihujat, dinista, ditelanjangi kehidupannya, dan dipermalukan di depan saudaranya sendiri, manusia Indonesia.

Gedung dewan perwakilan rakyat yang terhormat, lembaga kepresidenan yang sakral, meja kementerian dan bumn yang kuat, palu majelis penegak keadilan yang kokoh, tembok kepolisian yang tebal, kampus pendidikan tinggi yang cerdas, ruang belajar di sekolah yang guyup, sampai kamar-kamar pribadi yang harum, takpernah steril dari permasalahan. Semua seakan menyediakan diri untuk diobok-obok siapa pun atau mengobok-obok sendiri agar diketahui korengnya.

Kita mulai meragukan kredibilitas MK dan BPK ketika pejabatnya ditangkap karena diduga terima suap guna memuluskan sebuah perkara dan surat keterangan. Kita juga meragukan keteguhan iman seorang tokoh kementerian dan parpol berlatar agama karena dipenjara setelah korupsi daging sapi, dana haji, dan pengadaan Al Quran. Kita pun menyangsikan kebenaran kata-kata seseorang atau sekelompok orang yang mengklaim dirinya suci karena menganggap orang lain kafir hanya perbedaan alasan dalam mendukung seorang tokoh.

Betapa sebagai anak bangsa, kita seperti kehilangan kepercayaan diri, ketika orang yang kita tunjuk sebagai wakil di parlemen, hari demi hari, makin bertambah yang terlibat kasus. Sendiri-sendiri atau berjamaah, anggota bahkan pucuk pimpinan,  'melahap' rezeki anggaran dan proyek pemerintah dengan berbagai cara. Dan tetap senyum ketika dijadikan tersangka dan dipenjarakan. Sungguh manusia Indonesia semacam ini sudah putus urat malu karena seperti berprinsip kalau takkorupsi takrame.

Ada yang berpendapat bahwa masalah semacam ini tak perlu dibahas lagi karena sudah biasa di negeri ini. Saya pikir, justru harus terus dibahas karena bangsa ini tampaknya sudah mulai lupa karena terbiasa berbuat demikian sehingga seakan-akan lazim. Padahal yang lazim belum tentu benar. Kelaziman jangan sekadar diandalkan pada besarnya frekuensi terjadinya sesuatu, tetapi pada nilai kebenaran yang melandasi hasilnya. Jangan suka memaklumkan sesuatu hanya untuk mencari aman dan agar tetap bertahan di zona nyaman.

Siapa pun tetap berharap hidup aman dan nyaman. Namun, jangan sampai melacurkan moral dan iman. Kita tentu tidak ingin disebut sebagai manusia munafik, seperti ciri yang digambarkan Lubis. Satu sisi mengimbau jangan, sisi lain mengambil kesempatan, Satu sisi mengingatkan akan dosa, sisi lain mengapit dosa. Satu sisi memastikan haram, sisi lain tetap mengeram. Begitu seterusnya, selalu ada dua wajah yang paradoks. Jangan mencari zona nyaman dengan cara yang tidak aman, apalagi tidak benar. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun