Mohon tunggu...
Zulfadli Kawom
Zulfadli Kawom Mohon Tunggu... -

Ada banyak penyair yang senang berkutat dikamar; berakrobat dengan kata-kata dengan berpatokan pada pada referensi ribuan buku yang dibacanya. Aku lebih memilih berpetualang; menceburkan diri kedalam kehidupan yang keras dengan melihat langsung, merasakan, mengalami, menemukan dan menuliskannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Microphone di Kampung Kami

31 Juli 2013   13:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:47 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ALKISAH. Tersebutlah Blang Pha Dua, sebuah kampung Kemukiman Paya Ciceem. Sebuah microphone, pengeras suara menghebohkan se-antero Kemukiman Sinthoup, Kecamatan Murai Batu Kabupaten Aceh Barat Laut dan Kecamatan Buah Delima serta Kecamatan Gandapura. Ya, gara-gara orang kampung kami membeli sebuah microphone merk TOA ditambah satu set amplifer dan cerobong.

Itu terjadi pada tahun 1972. Hanya gampong kami yang memilikinya. Tersiarlah berita bahwa Gampong Blang Pha Dua telah membeli microphonelengkap satu set. Berita ini tersiar sampai keluar kecamatan. Kecamatan tetangga kami. Jadilah gampong kami, gampong yang pertama membeli microphone di tiga kecamatan tersebut.

Ini semua berkat peran dari Kepala Desa bernam Din Do Raman. Dia mengajak masyarakat yang dipimpinya untuk berswadaya membeli microphone, sebuah alat pengeras suara untuk keperluan informasi di kampung. Setelah membuat rapat dengan tokoh masyarakat lainya. Kesimpulan rapat yang di ambil malam itu, Pertama: mengumpulkan padi dari hasil tanha adatyang dikerjakan secara gotong royongtua dan muda laki-laki dan perempuan. Setelah empat kali masa panen, maka terkumpullah sepuluh ton.

Setelah panen tiba semua gabah di kumpulkan di lumbung. Namun setelah dihitung-hitung belum juga cukup untuk membeli seperangkat microphone. Lalu Teungku Din mengadakan rapat lagi di meunasah dengan beberapa agenda rapat. Pertama, mengumumkan hasil panen yang telah dikumpulkan selama empat kali musim panen dan jumlah uang setelah padi itu di jual. Saat ini semua gabah telah dijual. Namun uang masih kurang untuk membeli seperangkat microphone. Kedua, meminta saran dari teua adat kampung dan seluruh warga masyarakat kampung bagaimana caranya agar dalam bulan ini kita harus segera membeli microphone, karena bulan puasa segera tiba.

Teungku Din membuka rapat, menjelaskan semua maksud dan tujuan, lalu dia memberi kesempatan agar warga masyarakat menyumbangkan pikirannya supaya cita-cita bersama segera terwujud.

Seorang warga yang usil namun tak pernah absen ikut rapat, namun usulnya selalu konyol bernama Wahidin mengusulkan agar menjual tanah wakaf. Semua hadirin tertawa memecah kesunyian malam di meunasah yang diterangi lampu petromak, malam itu. Lalu Pak Imammenjelaskan pada Wahidin, bahwa tanah wakaf tidak boleh dijual dalam syariah.  

“Jangankan kita jual, kita gadaikan saja tidak boleh kalau tanah wakaf “ Jelas Pak Imam

Wahidin dan beberapa warag lain yang hadir malam itu mengangguk-ngangguk pertanda sudah faham.

“Masih ada yang ingin memberi usul?” Tanya Kepala Desa lagi.

Bang Din Dua Paleut memberi saran agar warga diwajibkan untuk menyumbang atap daun rumbia, karena pekerjaan masyarakat kampung selain bertani dan beternak banyak juga menjahit oun meuriya untuk atap sebagai pekerjaan sampingan. Biasanya dilakukan pada malam hari di rumah-rumahatau rangkanganak muda sambil mendengar hikayat di Radio yang dipancarkan di Lhokseumawe, ibukota kabupaten.

Di sudut meunasah sebelah selatan terlihat Bang Arun, asyik membulatkan cahaya senter pada dinding meunasah, dia tidak pernah memberi usul dalam setiap rapat, namun ia selalu hadir dalam setiap rapat kampung. Ia juga tidak pernah membantah usul orang lain dan selalu menerima setiap hasil rapat yang telah di sepakati bersama.

MALAM semakin larut, suara berisik dari sudut-sudut meunasah kian ramai. Lalu Cek Suloy, sekretaris gampong meminta warga agar diam sebentar, kalau ada usul atau ide ditanyakan pada kepala desa atau tokoh masyarakat lain, jangan ditanya sesama warga atau mengamanahkan pertanyaan kepada orang lain.

Setelah berkali-kali diberikan kesempatan untuk bertanya, namun beberapa warga masih enggan untuk bertanya, ada yang takut salah, ada yang suaranya kecil seperti Bang Din Dua Paleut yang jadi ledekan para warga lainya. Ada juga yang pendengarnnya sudah kurang bagus dan berbagai alasan lainya.

Jam hampir menunjukan pukul 00.00. Keputusan rapat belum juga diambil. Tiba-tiba Geuchik Ben yang dari tadi mendengar semua pendapat warga tunjuk tangan. Ya. Geuchik Ben. Mantan Kepala Desa, namun warga masih memanggilnya geuchik, Kepala Desa, walau sudah tidak menjabat lagi. Kalau dia telah memberi usul biasanya tidak ada lagi usul yang lebih baik. Selalu begitu dari dulu. Namun dia jarang sekali memberi usul di awal dan ditengah pertemuan, selalu di akhir ketika semua telah habis akal dan mulai ngantuk.

“Begini saja, kalau memang uang masih belum cukup, malam ini kita sepakati saja sepuluh ribu per kepala keluarga. Sekarang kan lagi musim panen, masyarakat masih punya uang. Tetapi Ingat. Ini tidak akan berhasil andai para tokoh tidak menyumbang terlebih dahulu, baru di ikuti oleh seluruh Kepala Keluarga yang hadir malam ini. Ini saja usul dari saya. Ingat sekali lagi bahwa ini hanya pemikiran saya saja, mungkin masih ada yang lebih bagus lagi silahkan. Mau di dengar atau tidak usul saya juga terserah bapak-bapak yang dan semua warga yang hadir malam ini. Hanya ini saja dari saya”. geuchiek Ben lalu kembali mundur untuk menyandarkan punggungnya pada tiang meunasah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun