Mohon tunggu...
Zulafa Faikar Rizqan
Zulafa Faikar Rizqan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tulisanku belum tentu benar menurutmu. Hanya mengutarakan opini yang dilandasi fakta.

Suka baca, bukan baca garis tangan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Maksimalisasi Laba Menurut Pandangan Islam

2 Desember 2018   21:55 Diperbarui: 2 Desember 2018   22:30 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Laba merupakan pendapatan dari seseorang yang melakukan kegiatan berdagang. Laba biasa disebut sebagai keuntungan. Terkadang, laba disamakan dengan konsep lainnya, seperti pertumbuhan atau pertambahan. Laba yang dimaksud disini ialah suatu pertambahan pada nilai yang terdapat antara harga beli dan harga jual. Keuntungan total adalah penerimaan total (TR) dikurangi dengan biaya total (TC). Keuntungan total akan mencapai maksimum apabila selisih positif antara TR dengan TC mencapai angka terbesar. Secara sistematis laba dapat dirumuskan =TR-TC, perusahaan dapat dikatakan memperoleh keuntungan apabila selisihnya bernilai positif (>0) dimana TR harus lebih besar dari pada TC (TR-TC). Sebagian ulama dari kalangan Malikiyyah membatasi maksimal pengambilan laba tidak boleh melebihi sepertiga dari modal. Mereka menyamakan dengan harta wasiat, dimana syariah membatasinya, yaitu hanya sepertiga. Karena, proses maksimalisasi harga secara berlebihan akan merugikan pihak konsumen (pembeli).

Keuntungan (laba) merupakan tujuan utama suatu pengusaha dalam menjalankan usahanya. Tentu para pengusaha ingin mendapatkan laba yang sebesar-besarnya dalam usaha ataupun bisnis nya. Proses produksi dilaksanakan se-efisien mungkin dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan. Menurut ulama Malikiyah, nama' (laba) terbagi menjadi tiga macam, yaitu: ar-Ribh at-Tijari (Laba Usaha), al-Ghallah, al-Faidah. Tidak dijelaskan standarisasi laba dalam Islam, akan tetapi Wahbah al-Zuhaili dan ulama Malikiyah menilai bahwa laba yang baik itu tidak melebihi sepertiga dari modal. Menurut al-Ghazali ketika seseorang berniaga kembali kepada tujuan akhir yaitu kebaikan akhirat, laba yang terlalu besar menyebabkan eksploitasi pasar dan perasaan tertekan seorang konsumen.

Sebelum kita membahas maksimalisasi harga menurut pandangan Islam, mari kita bahas maksimalisasi harga menurut pandangan konvensional. Dalam pandangan ekonomi konvensional, maksimalisasi laba sebagai kondisi rasional yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan. Dorongan untuk pengayaan diri dengan penggandaan penjualan menjadikan kompetisi di antara para pembisnis. Setelah kompetisi terganggu logika maksimalisasi laba cenderung beroperasi dalamarah berlawanan (tidak beretika).

Keuntungan maksimum didapatkan setelah garis MR tegak lurus, lalu garis MC dan AC yang terlihat bersinggungan. Perusahaan manapun selalu menginginkan laba yang besar. Setelah perusahaan ingin melakukan maksimalisasi keuntungan dengan faktor produksi yang sama, sehingga terjadi harga komoditas lebih besar daripada biaya marginal produksi. Ini menunjukkan bahwa faktor pekerja yang dikerjakan tidak dibayar dengan nilai penuh dari hasil produksifisik marginal (dieksploitasi), lalu para pelanggan/konsumen ditolak, dan surplus mereka dikurangi, serta pemanfaatan fasilitas kurang dari optimal-produksi sosial tidak dimaksimalisasikan. Pengurangan-pengurangan yang dilakukan oleh perusahaan memang dapat menyebabkan keuntungan lebih besar untuk perusahaan itu sendiri, tetapi jika dilihat kembali untuk para pekerja dan yang lainnya, ini bisa sangat merugikan jika dilakukan terlalu berlebihan dan secara terus menerus hanya untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Sesudah kita bahas maksimalisasi laba menurut pandangan ekonomi konvensional, mari kita bahas menurut pandangan ekonomi Islam. Di dalam Islam, penentuan posisi laba dan perilaku rasional dalam maksimalisasi laba pada dasarnya dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu:

  • Pandangan Islam tentang Bisnis adalah suatu Fardhu Kifayyah

Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengelolahan barang (produksi). Para ahli hukum Islam mengklasifikasi bisnis sebagai Fardhu Kifayyah, karena di dalamnya terdapat kewajiban sosial. Jika sekelompok orang sudah berkecimpung dalam memproduksi barang-barang dalam jumlah yang mencukupi masyarakat, maka kewajiban keseluruan masyarakat sudah terpenuhi dan sebaliknya jika tidak mencukupi kebutuhan masyarakat maka akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat. Bisnis dalam kajian konvensional hanya dalam rangka pengendalian pasar, namun bisnis Islam berupaya menemukan nilai ibadah yang berdampak pada konsep perwujudan rahmatan lil 'alamin, untuk mendapatkan ridha Allah. Oleh karena itu, sasaran keuntungan, keridhoan konsumen harus dibingkai dengan ridha Allah juga.

  • Perlindungan Kepada Konsumen

Untuk melindungi konsumen dari berbagai tindakan eksploitasi, syari'ah Islam memberikan sejumlah kewajiban bagi penjual sehubungan dengan takaran, kualitas, harga, dan informasi. Perlindungan konsumen merupakan tindakan yang berhubungan atas berbagai kemungkinan penyalahgunaan kelemahan yang dimiliki oleh konsumen.

  • Bagi Hasil diantara Faktor yang Mendukung

Teori ekonomi sekuler memenuhi salah satu kegagalan utamanya dalam hal menunjukkan bagaimana nilai produk suatu perusahaan dapat dibagi secara adil diantara faktor produksi. Bagi hasil antara tenaga kerja dan modal akan menjadi petunjuk yang baik dari organisasi pada masa-masa mendatang. Sebab potensinya adalah untuk meningkatkan efisiensi, keadilan, stabilitas, dan pertumbuhan. Namun, hal ini bergantung pada umat Islam sendiri apakah mereka akan menanggapi pesanagama dan memasukkan mekanisme bagi hasil menjadi mekanisme maksimalisasi laba yang dapat bebas dari eksploitasi, mengecewakan dan menyusahkan.

            Pada dasarnya, Islam menggunakan sistem bagi hasil dalam menentukan laba. Pada ekonomi Islam, membagi hasil laba atau keuntungan menjadi faktor penting dalam kemajuan atau pertumbuhan perusahaan itu sendiri. Maka dari itu, Islam mengajarkan kita untuk tidak melakukan eksploitasi dalam hal maksimalisasi laba. Islam tidak menganjurkan perusahaan untuk menurunkan kualitas untuk mendapatkan laba yang tinggi.

           Maksimalisasi Laba dalam pandangan konvensional sebagai kondisi rasional yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan. Dorongan untuk pengayaan diri dengan penggandaan penjualan menjadikan kompetisi di antara para pembisnis. Setelah kompetisi terganggu logika maksimalisasi laba cenderung beroperasi dalam arah berlawanan (tidak beretika). Di dalam Islam, penentuan posisi laba dan perilaku rasional dalam maksimalisasi laba pada dasarnya dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu: Pandangan Bisnis adalah Suatu Fardhu Kifayyah, perlindungan kepada konsumen dan bagi hasil di antara faktor yang mendukung. Maksimaliasi Laba dan Efek Sosialnya di dalam kompetisi monopolistik, maksimalisasi laba yang bertujuan untuk memberikan harga komoditas paling rendah, volume hasil yang lebih besar, dan keuntungan neto yang besar. Maksimalisasi laba Islam dan konvensional dapat dibandingkan sebagai berikut: Minimalisasi Biaya untuk Memproduksi Jumlah yang sama antara Konvensional (bunga) dan Islam (bagi hasil), Maksimalisasi Produksi dengan Jumlah Biaya Sama dan Efek Sosial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun