Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penebar Meme Setnov Diproses, Wujud Ketakutan yang Berlebihan?

6 November 2017   00:53 Diperbarui: 6 November 2017   02:03 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PERKARA menebarkan meme Setya Novanto (Setnov) yang sedang sakit pada beberapa waktu lalu, akhir - akhir ini turut menuai kritik. Karena terkonfirmasi bahwa pembuat meme tersebut telah dipoliskan. Dengan persoalan ini, ada sebagian yang menyetujui bahwa penebar meme tersebut pantas bagi politikus yang terlibat skandal kasus megaproyek misalnya. Namun sebagian lagi, 'mengutuk' perbuatan sejenis ini.

Dan bahkan, tuduhan dan hingga dipolisikan, ada sebagian orang beranggapan bahwa ini memberikan arti bahwa wujud ketakutan yang berlebihan. Ketakutan soal ini bisa diinterpestasikan sebagai tindakan dan sikap hati yang anti kritik, gemar mengintimidasi masyarakat lemah. Konon ikut melegitimasi tangan kekuasaan. Ini juga diartikan sebagai salah satu sikap yang alergi kritikkan. Mestinya, kritik sejenis ini bisa dijadikan referensi untuk mengevaluasi, bukan sebaliknya.

Karena sejatinya, pemegang kekuasaan harus ada yang dikontrol. Dan, meme sejenis ini pun merupakan wahana yang representatif untuk dijadikan alat kontrol bagi para pejabat negara dalam berkebijakan.

Pun disadari, kritik dalam sistem yang sangat demokratis ini harus ada batasannya. Pada bagian lain, melontarkan otokritik bagi penguasa harus menempati pada hal yang objektif. Mempertimbangkan sisi normatifnya. 'Mencemohkan' elit bisa saja, namun masih menempati etika sebagai rujukannya. Karena dengan keteledoran kita juga, bisa membawa pada malapetaka; akan bernasib sama dengan penebar meme yang saat ini menjadi 'buronan' Setnov.

Lahirnya undang - undang (UU) tentang ITE, juga menuai kontroversi. Karena ada sebagian orang yang berpandangan bahwa aturan tersebut menjadi pemicu bahkan menjadi salah satu indikasi dijeratkan oknum penyebar meme tersebut. Bisa diartikulasikan bahwa pasal - pasal di dalamnya berpeluang besar disalah gunakan oleh elit. Mendominasi pasal karet. Namun ada juga yang berbeda. Aturan ini diberlakukan biar ada efek jera bagi yang terindikasi menebar kebencian.

Pelaku pembuat meme Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) itu dituntut dengan pasal Pasal 27 ayat 3 UU No 19 tahun 2016 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Dalam pasal 27 ayat 3 itu disebutkan bahwa melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Paling tidak, peristiwa serupa tidak terjadi lagi. Pada bagian lain, sebagai pejabat publik, mestinya berlagak 'tahan banting'. Karena sejatinya, natur seorang pemimpin (politikus apalagi) layaknya demikian. Sebuah adagium klasik mengatakan bahwasanya, pemimpin itu ialah sampah, mesti bisa dimanifestasikan dalam berkepemimpinan. 

Nah, di sisi yang lain, demokrasi merupakan representasi dari menyampaikan aspirasi. Bentuk kritik sejenis ini pun perlu semestinya dianggap biasa. Karena berlebihan ialah cara pandang yang parsial. Namun seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa harus masih tetap menempatkan norma dan etika. Agar tidak menjadi bumerang, karena kita bisa malahan dituduhkan sebagai penebar kebencian.

Oleh : Trisno Mais

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun