Mohon tunggu...
Zidan Takalamingan
Zidan Takalamingan Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi itu indah

Solus populi suprema lex

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Omnibus Law Sesuaikah dengan Sistem Hukum di Indonesia?

28 Maret 2020   00:57 Diperbarui: 28 Maret 2020   00:58 1517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

OMNIBUS LAW
Pasca  pidato pelantikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019, istilah omnibus law (penyederhanaan regulasi) semakin populer. Pembentukan sejumlah RUU Omnibus Law -- yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020 -- menjadi program unggulan Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin demi menggenjot pertumbuhan ekonomi.
 
Sejumlah kalangan mengkritik pembentukan omnibus law ini dengan beragam alasan dan argumentasi. Tak sedikit kalangan mendukung pembentukan omnibus law ini sebagai salah satu strategi reformasi regulasi mengatasi kondisi obesitas/hiper regulasi, khususnya di sektor kemudahan berusaha. Masyarakat sipil, organisasi buruh, hingga pakar hukum sudah memberi pandangannya terkait omnibus law sebagai metode penyusunan satu regulasi (UU) baru sekaligus menggantikan/menghapus beberapa pasal dalam satu regulasi atau lebih yang berlaku.
 
Saya menilai dengan adanya omnibus law dalam konteks secara filosofis system hukum Indonesia dan secara normative yaitu terbagi atas dua ialah pelaksanaan formil dan materil daripada OMNIBUS LAW itu sendiri.
 
Alasan Filosofis:
Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental (civil law), yaitu bahwa negeri jajahan hanya boleh berhukum dengan cara-cara yang sesuai dengan negeri penjajah atau apa yang dilakukan di negeri jajahan itu harus sama dengan yang dilakukan di negeri penjajah, yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut.
 
Oleh karenanya, keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa oleh Belanda yang merupakan negara yang menganut sistem civil law.

Salah satu karakteristik utama dari Eropa Kontinental (civil law) ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasil terjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.

Namun, adanya berbagai sistem hukum tersebut sampai saat ini dirasakan bahwa hukum yang ada belum merupakan satu kesatuan sistem yang terpadu dan konsisten, melainkan terdiri dari beberapa tatanan hukum yang terpecah-pecah dan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Tetapi berbagai sistem hukum itu tidak dapat dibuang begitu saja, karena hampir setiap yang ada terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memunculkan kemajemukan sistem hukum.

Penggunaan aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat dengan perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat selalu dinamis.
 
Oleh karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu masa tertentu belum tentu relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu berada satu langkah dibelakang realitas masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan persoalan masyarakat merupakan hal yang esensial demi terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
 
Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika tidak, akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of justice yakni suatu konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.
 
Mengutip pendapat pakar hukum Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum (hal. 235) berpendapat bahwa di dunia ini kita tidak jumpai satu sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu. Adapun sistem hukum yang dimaksud di sini meliputi unsur-unsur seperti: struktur, kategori, dan konsep.

Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai.
Lebih lanjut Satjipto mengatakan bahwa kita mengenal dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Sistem Hukum Eropa Benua dan Sistem Hukum Inggris. Orang juga lazim menggunakan sebutan Sistem Hukum Romawi-Jerman atau Civil Law System untuk yang pertama, dan Common Law System untuk yang kedua.
 
Melihat daripada alasan filosofis tersebut mungkin adanya kerancuhan terhadap penerapan omnibus law, dan kita ketahui bersama bahwa Konsep Omnibus Law sendiri nyatanya digunakan di negara-negara yang menganut Common Law (Omnibus Bill) seperti Amerika Serikat, sedangkan untuk Indonesia lebih condong ke sistem Civil Law.

Bagi Republik Indonesia di usianya yang ke 74 tahun ini, penerapan bentuk atau model sistem hukum antara Common Law atau Civil Law dalam perkembangannya, masih memerlukan penyesuaian dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Artinya, sistem yang dianut oleh suatu negara masih dimungkinkan dapat di isi denhan design sistem lain sepanjang tidak merubah fundamen bentuk sistem yang dianutnya guna mencapai tujuan negara.

Mengutip pendapat Pakar Hukum Tata Negara, Jimmy Z Usfunan, bahwa konsep Omnibus Law menjadi salah satu jalan keluar yang mungkin dapat ditempuh oleh pemerintah Indonesia guna mengatasi dua hal, yakni kriminalisasi pejabat Negara dan untuk penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi.

Menurut Jimmy Z Usfunan, persoalan kriminalisasi pejabat Negara selama ini menjadi momok bagi para pejabat pemerintaha. Dewasa ini, banyak pejabat pemerintah yang takut menggunakan diskresi dalam mengambil kebijakan terkait penggunaan anggaran karena jika terbukti merugi, bisa dijerat dengan UU Tipikor.

Alasan normative  formil dan materil:
Omnibus law bisa digunakan di Indonesia untuk penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi.

Berkenaan dengan hal ini, omnibus law bisa menjadi cara singkat sebagai solusi peraturan perundang-undangan yang saling berbenturan, baik secara vertikal maupun horizontal
menilai penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja seharusnya taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu kita bisa lihat dalam uu no 12 tahun 2011.

Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun