Mohon tunggu...
Zia Mukhlis
Zia Mukhlis Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemerhati Pendidikan dan Sosial Budaya

Jurnalis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi 111 Tahun Buya Hamka

18 Februari 2019   13:17 Diperbarui: 18 Februari 2019   14:12 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu itu ada kabar bahwa Agus Salim berada di Makkah, disempatkannya bertamu dengan orang besar ini. dilihat oleh Agus Salim anak muda ini punya potensi besar. Setelah anak muda ini menerangkan keinginan hatinya yang besar untuk belama-lama di Makkah, maka disanggahlah oleh Agus Salim niat baiknya itu. Sepuluh tahunpun ia di Makkah pulang nanti palingan ia akan menjadi tukang doa saja. Ternyata pertemuan dengan Agus Salim itu merubah niatnya. Dan tak lama setelah itu anak muda ini pulang ke nusantara.

Tak langsung ia pulang ke kampungnya, menetap ia di Medan. Menjadi gharin masjid dan aktif menulis. Tulisan-tulisannya amat renyah dibaca, dan nama penanya kian harum, HAMKA.

Sepah yang dibuang kini tumbuh menjadi bunga nan elok, dihinggapi banyak lebah dan memberikan sari yang menyegarkan. Sejak namanya harum mulai tumbuh harapan dari orang-orang kampungnyapun mulai tumbuh, "kenapa Hamka tak kita bawa pulang?", mulai tumbuh niat mereka ini untuk mengambil manfaat dari Hamka. Disuratilah ia agar kembali pulang ke kampung halamannya. Sembilu luka masih berdenyut, irisan hinaan masih terngiang, pantang baginya untuk pulang setelah terhina. Namun hatinya menggema, wajah sang ayah membayang di matanya. Rindu nian ia bertemu sang ayah, walaupun acap keras namun itu semua untuk kebaikan dirinya. Diterimanya surat terakhir dari ayahnya, berdegup jantungnya, tak tahan ia menahan rindu ini lagi, segera ia pulang.

Sampailah ia ditepian danau Maninjau rumah tempat ia lahir dan tumbuh belia. Di ketuknya pintu, terdengar langkah maju dan bertataplah wajah dengan wajah. Garis keriput telah menghiasi wajah sang ayah, tampak ia lebih kurus, keduanyapun berpeluk erat, kasihpun tumbuh dan rindupun tertunaikan. Haru tak tertahankan dan air mata menggenang.

"Bangga", itulah isi hati sang ayah saat menyaksikan anaknya yang kembali setelah kabur. Dilihatnya pakaian sang anak seperti kurang layak untuk orang yang balik dari Makkah, diberikannya pakaian yang bagus serta sorban. Dibawanya Hamka keliling kampung oleh ayahnya, dengan bangganya sang ayah mengatakan pada orang-orang,"ini anakku baru pulang dari Makkah".

Sejak itu watak keras ayahnya mulai hilang dan tinggallah sayang. Kehadiran Hamka bukan hanya melepaskan kerinduannya tapi menjadi penguat hatinya dan penguat barisan pejuang Islam.

Singkat cerita, kala sang ayah sudah sampai pada pada waktunya. Di mana ia telah sakit-sakitan, yang waktu itu ia telah berada di tanah pengasingan, Sukabumi, sebab ia menjadi garis keras penentang kebijakan penjajah. Umurnya sudah dekat dan pasrahnya pada Hamka, sebab ulama-ulama di Minangkabau ingin agar beliau segera di bawa pulang agar meninggal dan dikuburkan di tanah perjuangannya. Hamka pun dibuat bingung dangan pasrah ayahnya pada keputusan sang anak. Ia pun bingung serata menghubungi  Soekarno dan Hatta mencari solusi yang amat berat baginya ini. Soekarno menegaskan, "Di Sumatera telah banyak ulama, sedangkan di Jawa ulama sedikit". Dengan mendengar ucapan Soekarno maka Hamka pun memutuskan agar sang ayah tetap berada di Jawa.

Hamkapun pulang ke Minangkabau untuk menyampaikan kabar bahwa ayahnya tak jadi pulang kepada syekh Jamil Jambek. Saat melihat Hamka hanya datang seorang diri, pahamlah syekh Jamil Jambek bahwa ayah Hamka tak akan pulang. "biarlah ia di tanah jawa, jika ia disini ia pasti akan sibuk mengurus umat". Walau pada batin syekh ada perasaan sangat kecewa dan sedih bahwa ayah Hamka tak pulang ke Minagkabau lagi.

Dari didikan dan watak ayahnya yang keraslah Hamka bisa menjadi sosok ulama yang kokoh hingga akhir hayatnya. Difitnah dan dicaci telah menjadi makanannya sejak belia. Keras ayahnya membekas hingga Hamka menanggalkan jabatan ketua MUI demi fatwanya yang bertujuan menyelamatkan aqidah umat. Namun di manakah kita bisa menemukan sosok seperti Hamka dan ayahnya hari ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun