Mohon tunggu...
Zia Mukhlis
Zia Mukhlis Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemerhati Pendidikan dan Sosial Budaya

Jurnalis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bolehkah Berpikir Bebas?

22 November 2018   14:09 Diperbarui: 22 November 2018   14:38 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bolehkah berpikir bebas?" pertanyaan ini akan dijawab dengan pertanyaan lagi, "adakah yang bisa membatasi  pikiran seseorang?". Siapakah yang bisa membatasi pikiran, kitapun tak tahu sampai mana batasan kita  berpikir, namun yang jelas batasan kita berpikir adalah sejauh mana kita dapat berpikir. Waduh, rumit amat nih berpikir. Sederhananya adalah sampe mana kamu mentok berpikir berarti disitu batasan kamu. Kalo gak mentok-mentok gimana? Ya berarti jebol donk. Bukan, berarti pikiran kamu luas dan kamu layak dikatakan manusia.

Dalam definisi Ilmu Mantiq manusia adalah sesuatu (makhluk) yang berpikir. Hakikat dari manusia itu sendiri adalah berpikir. Berpikir adalah manusia, dan manusia adalah berpikir. Jadi kalo gak berpikir itu apa namanya? Bisa robot, bisa he.... hey tayo...hey tayo... loh koq kesini jadinya. Berpikir adalah proses bekerjanya akal manusia. Akallah yang membedakan manusia dengan hewan dan tumbuhan. Hewan diberikan insting pada dirinya, gunanya untuk mengetahui bahaya yang akan datang. 

Tumbuhan diberikan rangsangan pada dirinya, guna mencari rangsangan sinar matahari untuk proses fotosintesis, dan guna mencari air pada akarnya. Sedangkan manusia diberikan akal. Hewan akan lari jika alarm instingnya berbunyi, seperti gunung yang akan meletus. Hanya sebatas itu saja yang bisa dikerjakan oleh hewan. 

Mereka tidak diberikan kemempuan untuk menalarkan apa penyebab terjadinya gunung meletus? Kenapa gunung itu meletus? Kenapa baru sekarang meletusnya? Manusialah yang diberikan kemempuan menalar seperti itu. Dengan kemampuannya berpikir itulah manusia menjadi makhluk paling cerdas di muka bumi ini. Salah jika ada yang mengatakan bahwa gajah adalah makhluk paling cerdas, gajah sendiri tak mengetahui bahwa dirinya cerdas, malahan manusia yang menemukan kecerdasannya. Lucu bukan?

Berpikir adalah hak masing-masing kita. Ya setiap kita memiliki hak menggunakannya, berpikir apapun tanpa ada yang membatasinya. Namun akal yang digunakan untuk berpikir itu juga adalah amanah titipan Tuhan. Batasan telah ada dan akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. Di dunia ini tak ada yang boleh membatasi pikiran seseorang. Pikiran itulah yang merangsang manusia untuk memperbaiki kehidupannya, pikiran itulah yang melahirkan perubahan, dan pikiran itulah yang memunculkan pemberontakan. Jika pikiran dilumpuhkan, maka lahirlah manusia-manusia yang manut-manut, tidak rasional, dan mengedepankan perasaannya sebagai timbangan.

Jika menilik pada sejarah masa lalu, sepakat kita bahwa Barat maju oleh gerakan berpikir bebas, dan yang menjadi dasarnya adalah filsafat. Bermula di masa kegelapan Barat, kala otoritas gereja mendominasi di segala lini kehidupan hingga membatasi umatnya dalam berpikir. Menyebabkan sering terjadi clash antara para ilmuan dan gereja. Tak jarang ilmuan-ilmuan dihukum dan bahkan dibunuh karena menentang otoritas gereja. Bukan manusia yang jika semakin ditekan ia semakin liar. Rangsangan berpikir bebas itu lahir dari pendalaman para intelek Barat terhadap filsafatnya Ibnu Rusyd yang menjadi dasar dari era kebangkitan bagi Barat.

Sejarahnya bermula dari pertentangan filsafat di dunia Islam sendiri. Pertarungan sengit antara Imam Ghazali dengan Ibnu Rusyd. Keduanya hanya menyerang dengan tulisan masing-masing. Imam Ghazali berada dipihak yang menentang filsafat, sedangkan Ibnu Rusyd dipihak orang yang membela filsafat. Walau demikian kerasnya penentangan Imam Ghazali terhadap filsafat, argumen yang ia gunakan juga tak lepas dari filsafat sendiri. Dan berakhir dengan kemenangan Imam Ghazali dengan diterimanya argumennya oleh mayoritas umat Islam. Kekalahan Ibnu Rusyd bukan karena argumen yang ia gunakan adalah lemah, tapi disebabkan kerena kepopulerannya di kancah dunia Islam. Sosok Imam Ghazali lebih poluler dibandingkan Ibnu Rusyd. Sejak itu filsafat mulai luntur dan bahkan anti di dunia Islam sendiri. Ada kalimat yang sangat populer saat itu,"man mamantak faqod tazanda"(siapa yang berlogika, maka kafirlah dia). Takutlah orang mempelajari filsafat hingga larilah filsafat itu dari dunia Islam, dan disambut hangat oleh Barat.

Bagi Barat filsafat Ibnu Rusyd adalah mata air yang melepaskan dahaga kejumudan yang dilakukan oleh gereja. Berpikir kritis dan tindakan mengkritisi gereka mulai gencar dilakukan hingga gereja kewalahan menghadapi para pengagum filsafat Ibnu Rusyd ini. Gereja yang kepayahan menghadapi filsafat Ibnu Rusyd akhirnya menggunakan argumen Imam Ghazali untuk melawan balik filsafat Ibnu Rusyd. Namun tetap filsafat Ibnu Rusyd mendominasi hinggi otoritas gereja tumbang. Era kebangkitan di mulai. Begitulah terang Oemar Amin Husein pada bukunya Filsafat Islam. Ia juga menyayangkan umat Islam yang membuang filsafat dari tradisi keilmuannya yang menyebabkan kemunduran dan dimulainya era taqlid buta di tubuh umat Islam.

Fahrudin Faiz seorang dosen filsafat di UIN Sunan Kalijaga dalam 'ngaji filsafat' saat membahas tentang Ibnu khaldun yang hidup di abad ke-14 menggambarkan kondisi keilmuan umat Islam yang kurang kreatif. Dalam tradisi menulis umat Islam ada istilah matan (isi), biasanya matan ini adalah ringkasan dari sebuah cabang ilmu. Lalu ada syarah, yaitu penjekasan dari matan. Lalu ada hasyiyah, yaitu penjelasan dari syarah. Dan selanjurnya komentar-komentar terhadap tingkatan di atasnya. Pada zaman Ibnu Khaldun banyak para ilmuan Islam tak mampu melahirkan sesuatu yang baru, mereka hanya mampu menjelaskan apa yang sudah ada, seperti matan yang dijelaskan kandungannya, lalu penjelasan matan itu dijelakan lagi, dan begitu seterusnya. Ada stagnanisasi pada tubuh Islam, cangguang melahirkan sesuatu yang baru dan percaya bahwa karya ulama-ulama terdahulu telah final dan sempurna. Yang padahal zaman selalu berubah, permasalahan-permasalahan baru bermunculan, namun kita masih membatasi diri pada zaman dahulu.

Maka perlu adanya orang-orang yang keluar dari zamannya, mendobrak kejumudan umatnya dan hidup untuk zamannya dan dari esok. Manusia yang bisa seperti itu adalah manusia yang tak terkungkung dalam berpikir. Keterkungkungan berpikir itu dipengaruhi oleh lingkungannya dan kedua oleh politik dan pemerintahan. Lingkungan sering membuat kita berpikir manut-manut dan pesimistis. Menjadikan kita manusia yang sama dan tak boleh berbeda. Lalu politik membatasi pikiran-pikiran tertentu dengan cara membatasi definisi tentang sesuatu, membatasi definisi benar dan salah. Hingga yang seharusnya benar menjadi salah dan salah menjadi benar. Jika demikian itu adalah penilaian yang sebjektif dan tidak universal. Ketimpangan terjadi dan lahirlah pemerintahan yang otoriter. Saat seperti ini para ilmuan dan tokoh besar harus bersuara, sebab hanya mereka yang sadar akan ketimpangan ini. Berpikirlah, lahirkanlah gagasan baru. Definisikanlah zamanmu ini dan komentarilah keadaannya. Sebuah pikiran yang baik adalah pikiran yang dipenakan, biarlah ia salah, toh zaman akan memperbaikinya. Biarkanlah jika ia salah, karena hidup adalah proses perbaikan dan penyempurnaan. Perbedaan pemikiran adalah rahmat, darinya berbagai solusi muncul, darinya gagasan baru lahir, dan darinya kekayaan pikiran dinikmati oleh banyak orang. Suka dan tidak suka adalah hak masing-masing. Jika tak suka dengan suatu pikiran balaslah dengan pikiran, bukan dengan membunuh pikiran tersebut dengan hujatan-hujatan yang merendahkan diri kita. Jika tak suka dengan pemikiran seseorang jangan pribadi orangnya yang diserang, tapi pikirannyalah yang dibawa ketengah dan dikuliti sama-sama, bukan orangnya! Begitulah orang bijak bertindak. Selamat berpikir, kemampuan itu ada pada setiap manusia, bukahkan anda manusia? Pentas pikiran masih banyak yang kosong, anda harus berdiri disalah satu ruangnya. Melahirkan sebuah gagasan baru dan bermanfaat bagi banyak orang. Selamat menjadi manusia, selamat berpikir!  

Sang filosof pernah berkata,"saya ada karena saya berpikir".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun