Lagi asik-asiknya kumpul, tiba-tiba ada teman yang nyeletuk bertanya, “apa benar kalau kita cakep, hidup akan aman-aman saja?”. Entah apalagi yang baru dilihatnya di ponselnya, tapi dengan bertanya yang setiba-tiba dan sedikit memprotes itu, cukup membuat pecah suasana tongkrongan dengan tawa, padahal sebelumnya semua pada sibuk dengan ponsel masing-masing. Dan tanpa menunggu tawa teman-teman meredah, saya lebih dulu melakukannya.
Saya mulai berpikir barang sejenak. Mendengar pertanyaan barusan, saya teringat dengan ungkapan “Lu cakep, lu aman”-sebuah kalimat populer yang kerap digaungkan anak zaman sekarang, tatkala melihat adanya semacam ketimpangan di mana fisik seseorang yang dianggap menarik, akan menjadi privilege sehingga lebih enak dan mudah dalam berurusan dengan pelbagai aspek kehidupan; baik itu urusan sosial, asmara, bahkan sampai urusan karier. Seperti apa ketimpangan yang dimaksud disini? Mari kita lihat overview-nya
Kemerosotan moralitas ala warganet
Tempo hari pernah ada berita yang beredar di media sosial instagram, di mana ada beberapa publik figur yang terseret ke dalam satu kasus (kasus yang serupa tapi orang yang terlibat, berbeda). Kejadian ini memicu beragam komentar utamanya dari warganet. Tidak sedikit dari mereka yang merespon dengan tanggapan-tanggapan receh dan sama sekali tidak berkualitas. Seperti itulah demikian
Setidaknya saya melihat dan membandingkannya sendiri kalau feedback yang mereka berikan, bisa berbalik tiga ratus enam puluh derajat tergantung siapa yang menghadapi permasalahan itu. Jika publik figur dengan paras yang good looking tersandung satu kasus (kasus yang sebenarnya salah di mata masyarakat) tapi malah mendapatkan dukungan moral bahkan dibela-belain sama netizen. Kesalahannya seketika hampir termaafkan.
Selang beberapa hari setelahnya, ada seseorang yang juga mengalami nasib sial yang sama persis, tetapi dengan parasnya yang tidak terlalu cakep-tapi layak dicintai-justru tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti publik figur sebelumnya tadi. Alih-alih mengharapkan kepedulian, yang ada malah fisik sekaligus perbuatannya justru mendapat diskriminasi dan penajisan oleh orang lain, seolah hukumannya lebih baik disegerakan. Sangat disayangkan, bukan karena keprihatinan warganet yang tebang pilih, tetapi karena kemerosotan nilai moral yang nyaris tidak diapa-apakan diperlihatkan ke ruang sosial digital ini.
Isu sosial semacam ini, senafas dengan istilah lookisme yang disebut Nancy Etcoff dalam bukunya yang berjudul “Survival of The Prettiest”. Lookism adalah istilah yang merujuk pada tindakan diskriminatif terhadap penampilan fisik seseorang. Nancy mengatakan bahwa,
“kita menghadapi dunia di mana lookisme (penampilan) menjadi salah satu bentuk diskriminasi yang paling meluas (di masyarakat), namun sering kali ditolak atau diabaikan.”
Paradoks moral kupu-kupu dan kecoa
“jika kamu membunuh kecoa, kamu adalah pahlawan. Jika kamu membunuh kupu-kupu, kamu adalah orang jahat. Moralitas pada kenyataannya memiliki standar estetika”. Kalimat dari Friedrich Nietzsche yang cukup menohok dalam mengungkapkan gambaran tentang nilai estetika yang bertanggung jawab atas bagaimana moralitas itu bekerja.
Sebab keberadaannya diidentikkan dengan hal-hal yang berbau kotor dan kumuh, ditambah penampakannya yang jauh dari kata menggemaskan, kecoa dipandang sebagai hewan yang paling menjijikkan, sehingga membunuh hewan ini kesannya telah bertindak heroik. Dibandingkan kupu-kupu, nasib tragis ditakdirkan menjadi kecoa. Kita semua sudah tahu, kupu-kupu adalah hewan yang diliputi beragam keindahan, mulai dari penampakannya yang menarik sampai lingkungan bermainnya yang kerap kita jumpai di padang rumput maupun di taman-taman bunga. Tak ayal, membunuh hewan ini cuma akan mengundang celaan dan dicap sebagai orang jahat. Namun, kita tidak akan panjang lebar bicara soal kedua hewan ini, melainkan tentang betapa mengherankannya penerapan moralitas sekarang, yang katanya tak terbantahkan.