Menjadi mahasiswa di Indonesia tuh sepertinya harus memiliki bekal fisik dan mental yang kuat. Bagaimana tidak, selain berhadapan dengan birokrasi kampus yang sungguh melelahkan, di luar pun saat bertemu masyarakat juga tidak kalah melelahkan. Mulai dari dipandang sombong tanpa maksud jelas, sampai dikatain “kuliah hanya buang-buang uang” karena lulusnya belum dapat kerja. Ehh sekalinya dapat kerja tapi tidak sesuai jurusan, ternyata masih kena semprot juga. Sebagai seorang yang pernah berstatus mahasiswa, semua sudah saya rasakan.
Sebelum pembahasan kita makin jauh, lebih dulu saya ingin katakan kalau tulisan ini bukanlah sekadar curhatan atau unek-unek dari seorang alumni perguruan tinggi, melainkan sebuah telaah dan sedikit kritikan terhadap stigma masyarakat tentang mahasiswa di atas.
Identitas sebagai mahasiswa dimana kesombongan seakan menjadi jaket almamaternya
Malam itu kami lagi ngobrol kecil-kecilan di teras rumah. Saya ingat persis salah seorang teman yang bilang begini “pokoknya, menurutku orang yang kuliah itu sombong”. Dengan gaya bicara seakan tanpa sangsi tapi blak-blakan, kami menganggapnya biasa-biasa saja alih-alih ke trigger.
Beberapa hari sebelumnya, ada juga seorang bapak-bapak yang lagi ngecor, tapi dengan mulut yang nggak berhenti nyerocos di hadapan anak muda yang kebetulan buruhnya. “Percuma kuliah kalau sombong” kurang lebih begitu sedikit ocehannya yang berhasil masuk ke kuping saya. Dan tampak rendah hati, mungkin menghargai, saya melihat anak itu cuma bisa diam menyimak tapi sambil terus mengoper campuran.
Sambil membatin, saya ikutan mengoceh “keangkuhan tidak memiliki jenjang pendidikan, Pak. Setiap orang punya jatah angkuh termasuk tukang bangunan di hadapan buruhnya”. Mengingat apa yang saya dengar dari bapak itu sebenarnya tidak salah, batin saya tidak membantah banyak. Tapi, dari kejadian-kejadian semacam ini, saya kira menunjukkan bagaimana identitas sebagai mahasiswa dimana kesombongan menyertai seakan menjadi jaket almamater mereka.
Demonstrasi adalah bukti bahwa tindakan baik pasti ada saja yang nyinyirin
Tatkala terjadi ketimpangan dalam kebijakan yang dibuat pemerintah, mahasiswa kerap dianggap sebagai tongkat estafet penyambung rintihan suara dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Melalui seruan demonstrasi, mempersaksikan bagaimana gerakan mahasiswa yang menjadi mimpi buruk bagi para petinggi negara, tapi malah tampak “mulia” di mata masyarakat.
Namun, sebagaimana umumnya, setiap tindakan baik tuh pasti ada saja yang nyinyirin. Mahasiswa berperan sebagai penyambung lidah masyarakat, tapi mirisnya, lidah itu malah dipotong oleh sebagian masyarakat lain. Saya jadi teringat dengan kritikan menohok dari Mas Cholil ERK yang cukup memberikan tamparan segar, “kita tuh terkadang mendiskreditkan perjuangan orang lain yang mungkin bermanfaat buat kita. Yang demo buruh/mahasiswa, yang dapat manfaatnya
kita semua, tapi pada saat yang sama, kita juga nyinyir terhadap mereka”. Lantas, apa yang menyebabkan mahasiswa bisa dipandang demikian?
Kemungkinan pertama: menempuh perkuliahan itu hanya orang yang mampu saja.