Mohon tunggu...
M. Fauzan Zenrif
M. Fauzan Zenrif Mohon Tunggu... Dosen - Zenrif

Hidup Itu Belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengenal Pesantren Muhammadiyah (Bagian 3)

16 Juli 2019   23:11 Diperbarui: 16 Juli 2019   23:13 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menginjakkan Kaki Pertama Kali di Pesantren Muhammadiyah Tertua di Indonesia

Kesan Pertama

Sebagai seseorang yang pernah belajar Sosiologi dan Antropologi, saya tertarik kepada beberapa fakta sosial di Pesantren yang memiliki banyak unit lembaga pendidikan dan banyak unit usaha ini. Pada bagian pertama ini saya ingin bercerita kesan pertama saat pandangan pertama. 

Kesan pertama dari pandangan pertama ini didasarkan atas kesan kondisi riil yang dapat terlihat secara mudah kala melalui sebuah lokasi di wilayah Pesantren yang didirikan Kyai Abdur Raman ini.

Rapi dan Terta
Rapi dan Terta

Pesantren ini terkesan rapi dan tidak kumuh. Penataan tata ruang dengan luas wilayah yang sempit, jumlah gedung yang banyak, masih bisa memberikan kesan tertata rapi.

Sekalipun sepeda montor nampaknya tifak disiapkan tempat parkir khusus, namun masih berada di lokasi yang sama sehingga tidak memberikan kesan tidak baik.

Memiliki Kompetensi Bahasa Arab
Memiliki Kompetensi Bahasa Arab

Dari beberapa gedung yang tertempel kaligrafi dengan baik, memberikan kesan bahwa Pesantren ini tidak mengenyampingkan kemampuan bahasa Arab. Kesan kini kian mendalam saat saya melihat beberapa simbol yang digunakan sangat melekat dengan khat Arab. Di atas pintu beberapa kelas juga tertempel tulisan berbahasa Arab.

Selalu Membangun: Dinamis dan Modern
Selalu Membangun: Dinamis dan Modern
Selalu Membangun: Dinamis dan Modern
Selalu Membangun: Dinamis dan Modern
Pesantren ini dinamis. Fenomena dsri dinamika pembangunan di hampir setiap unit pendidikan, menunjukkan pada proses dinamika sosial yang tinggi.

Beberapa pola arsitektur yang membentuk cluster menggambarkan pola dinamika pembangunan yang modern. Beberapa pola penempatan masa bangunan juga memberikan gambaran yang konkrit tentang hubungan yang luas dan kerjasama yang baik antar instrumen pendidikan terkait.

Khusus Perempuan dan Khusus Laki-laki
Khusus Perempuan dan Khusus Laki-laki
Terlepas dari kesan saya tentang gambaran fakta sosial masyarakat Muhammadiyah yang memiliki ikatan sosial yang agak bebas antara perempuan dan laki-laki, saya menemukan fakta yang berbeda di pesantren ini. Sekalipun tidak seketat yang dapat ditemukan di pesantren kalangan nahdliyyin yang salaf, seperti Sidogiri dan Ploso, misalnya, di pesantren ini dipisah antara laki-laki dan perempuan.

Fakta sosial ini mengikis dan meruntuhkan kesan saya sebelum melihat secara langsung di pesantren yang didirikan oleh KH. Abdur Rahman ini.

Mengenal Pendidikan Yai Abdur Rahman (Yai Man)

Masa kecil Yai Abdur Rahman mengikuti pendidikan agama di wilayah Paciran. Sedangkan, pendidikan kepesantrenan dilalui Kyai Abdur Rahman, pertama kali, di Kyai Fattah Tulung Agung, kemudian dilanjutkan ke Lirboyo. Setelah dari Lirboyo, Yai Man melanjutkan ke Pesatren al-Amin di sebelah Timur, Paciran.

"Pada tahun 1948,baru mendirikan Pesantren. Dengan santri pertama dari Gresik. Pada mulanya pesatren ini belun diberi label Muhammadiyah, tetapi berada di bawah PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam)."

Namun karena seringnya komunikasi dengan kalangan modernis, begitu menurut Adik Gus Fanani ini, Pesantren kemudian diberi label Muhammadiyah pada sekitat tahun 1956. Tanah dan gedung ini secara resmi diserahkan pada Muhammadiyah pada sekitar tahun 1970an.

Berbeda dengan apa yang disampaikannha, Gus Fanani menjelaskan bahwa awal mulanya bukan PTDI, melanikan Wajib Belajar. 

Sedangkan bagaiman proses Muhammadiyah, Gus Fanani memberikan penjelasan lebih konkrit, yaitu sejak Buyab Hamka menulis buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.

"Saat Buyah HAMKA berada di Paciran untuk kepedluan penulisan buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck," kata Gus Fanani, "Buyah HAMKA juga melakukan pendidikan agama pada masyarakat Paciran.

Pengaruh pendidikan agama Buyah HAMKA ini, kata Gus Fanani lagi, sangat melekat lada pola keberagamaan masyarakar Paciran, terutama pada masyarakat pedagang di sepanjang jalan daendels.

Terlepas dari perbedaan awal mula pendidian pesantren ini yang pasti Yai Man pertama kali mendirikan pesantren ini dengan tidak berlabel Muhammadiyah. Pesantren ini kini memiliki Gurj sebanyak 233 orang, tenaga kependidikan 647 orang, siswa 3300 orang, dan 1006 santri yang hafal al-Qur'an. 

Semua siswa sesungguhnya wajib mengikuti program tahfidh. Kemudian unfuk kebutuhan memotivasi siswa untuk menghafal, maka diadakan daurah tahfidh al-Qur'an sebanyak 2 kali dalam satu semester, atau 4 kali dalam setahun.

(Bersambung...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun