Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Bantuan Sosial Selama Pandemi: Citra Pemimpin dan Psikologi Pemilih

29 Mei 2020   18:15 Diperbarui: 29 Mei 2020   18:17 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bantuan Sosial. Sumber: merdeka.com

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengaganti Undang-Undang (PERPPU) beberapa saat lalu sepakat untuk menunda pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan pengumuman resmi bahwa akibat Pandemi yang terjadi pada skala nasional, harus membuat pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di beberapa daerah di Indonesia harus ditunda. Penundaan ini bukan hanya membuat perubahan pada situasi menjelang pilkada serentak, namun juga sedikit banyak pada perilaku pemilih di Indonesia.

Seperti kita ketahui bersama tidak sedikit masyarakat awam yang tergerak hatinya untuk membantu sesama warga negara selama Pandemi Covid-19. Selain bantuan pemerintah, banyak orang yang tergolong mampu secara finansial turut membantu sesama melalui berbagai jenis bantuan. Ada yang menghimpun dana, donasi sukarela, bahkan memberikan bantuan sembako di jalanan kepada mereka yang kurang beruntung ekonominya sebagai dampak dari penyebaran masif virus Corona.

Tindakan ini dilakukan bukan hanya mereka yang dikenal sebagai publik figur seperti apa yang kerap kali viral layaknya Baim Wong dan artis lainnya lakukan. Namun juga kaum awam bukan dari kalangan selebritis yang sering terekam netizen sedang membagikan bantuan kepada masyarakat lain di jalanan. Termasuk pula mereka yang mungkin mencalonkan diri sebagai calon pemimpin di daerah tertentu.

Pandemi: Momentum merebut hati pemilih

Hari ini kita bisa menyaksikan bersama bagaimana bantuan sosial masyarakat diberikan secara cuma-cuma oleh beberapa calon pemimpin daerah. Kebanyakan di antaranya adalah memberikan bantuan sembako serta memberikan masker pelindung wajah. Sebagian lagi juga ikut terlibat langsung dalam kegiatan meng-edukasi masyarakat tentang pencegahan dan bahaya Covid-19.

Terlepas dari niat yang tulus atau tidak perihal bantuan yang diberikan, namun yang pasti bantuan tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang membutuhkan. Situasi ini tentu bisa dimanfaatkan sebagai momentum penting dalam membangun citra calon pemimpin daerah dalam merebut hati pemilih. Baik dalam membangun citra, sekaligus pula sebagai jembatan yang mendekatkan calon pemimpin kepada masyarakat yang akan dipimpinnya.

Menariknya lagi, Pandemi saat ini sedikit banyak membuat atensi masyarakat lebih dominan memandang tindakan tersebut sebagai sebuah panggilan kemanusiaan. Sebab percaya atau tidak apabila tindakan ini terjadi bukan pada saat Pandemi, cara pandang masyarakat tentu akan berbeda dalam menyikapi pemberian bantuan tersebut. Tidak menutup kemungkinan banyak masyarakat yang akan memandang tindakan itu adalah sebuah bantuan yang sarat akan kepentingan politik. 

Sikap philantropi ini bisa dikatakan ibarat kata pepatah orang Toba "sahali tembak dua hona" yang berarti "sekali tembak dua target kena". Pada sisi kemanusiaan bantuan tersebut mungkin tepat sasaran, demikian pula pada proses membangun citra si calon. Sehingga Pandemi ini bisa dikatakan menjadi momen membangun citra diri, sekaligus juga menabung pahala.

Ilustrasi pemilih saat pemilu. Sumber: sulut.kpu.go.id
Ilustrasi pemilih saat pemilu. Sumber: sulut.kpu.go.id

Psikologi pemilih setelah Pandemi

Secara umum tentu kita sepakat bahwa dalam proses pilkada maupun pemilu lainnya, masyarakat akan memilih calon yang memang memberikan keuntungan. Baik secara individu maupun kelompok, juga secara kekerabatan dan status sosial. Pertimbangan tersebut tentu dengan mudah kita pahami dengan istilah "rational choice theory".

Dalam keadaan keterbatasan sosial saat ini, teori tersebut bisa saja semakin menjadi patokan utama bagi masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya kelak. Namun teori tersebut mungkin saja akan mengalami pergeseran makna dengan keadaan saat ini. Dimana titik pertimbangan masyarakat bukan lagi sekedar pada visi dan misi, namun "mungkin" akan lebih condong kepada apa, berapa, dan cara apa bantuan yang mereka terima saat ini.

Situasi Pandemi saat ini juga akan membuat bantuan tersebut menjadi lebih bernilai, yang juga mungkin membuat nama dan tindakan si calon akan "membekas" di hati pemilih. Sementara bagi mereka yang menerima bantuan tersebut tentu tidak akan merasa terikat pada si calon. Melihat bahwa hari ini tindakan tersebut dipandang lebih kepada bantuan kemanusiaan tanpa memandang adanya deal politik di dalamnya.

Pandangan umum bantuan sosial

Kalau kita memandang tindakan ini bukan sebagai aksi kemanusiaan, tentu saja tidak sulit bagi kita untuk menjustifikasi hal tersebut sebagai bagian dari kampanye sebelum waktunya. Namun Pandemi seolah menjadi sebuah legalitas abstrak. Instansi resmi seperti KPU atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tentu tidak bisa memandang situasi ini sebagai hal yang menyalahi aturan atas nama humanity. Lagi pula proses pencalonan resmi juga belum berlangsung.

Dalam situasi ini masyarakat, KPU, dan calon kepala daerah seolah memiliki kacamata yang sama. Dimana hari ini bantuan yang diberikan tersebut bukanlah bagian dari kampanye terselubung. Namun sebagai wujud rasa solidaritas antar warga negara untuk saling membantu satu sama lain.

Situasi inilah yang pada akhirnya menjadi manuver politik baru bagi beberapa calon kepala daerah. Menjadikan Pandemi sebagai wadah menabung pahala sekaligus menjadi media untuk membangun citra di masyarakat. Baik secara materi maupun sebagai secara kepribadian.

Bagi masyarakat juga tidak jauh berbeda. Bantuan tersebut dapat diterima tanpa menjadi sebuah ikatan politik. Pun juga dapat diterima dengan free political brand si pemberi. Murni sebagai bantuan kemanusiaan dalam meringankan beban.

Pada akhirnya nanti semua pilihan akan kembali kepada kita. Apakah kelak kita akan tetap menjadikan visi dan misi sebagai patokan utama dalam menentukan pilihan politik? Atau lebih menjadikan bantuan hari ini sebagai patokan utama yang harus diakui pula sebagai tindakan mulia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun