Mohon tunggu...
Zee. L
Zee. L Mohon Tunggu... Guru - Saya hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta yang sangat menggemari karya fiksi

Berbicara melalui tulisan lebih memberikan makna dari apa yang lisan ucapkan yang kadang bermaya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan Yang Memeluk Hujan

16 Oktober 2015   15:09 Diperbarui: 21 April 2020   16:04 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ketika warna kuning kemerah-merahan mulai berpamitan pulang. Malam itu, adalah sabtu malam yang lembab. Selembab kelopak mataku saat ku tahu kau tak lagi datang.  Ada bau air mata, tak jauh dari tempatku menyulam waktu. Ku  putuskan untuk menemukannya.

 Aku melihatnya duduk seperti mengapung. Di atas bentangan permadani yang di rajut dari benang-benang penantian di tengah danau yang terbuat dari air mata. Ia menatapku. Sangat tajam, seperti garis kilat yang menyayat.  Dan ia bergerak semakin mendekat.

“Siapa kau?” Tanyaku. Ia tersenyum sinis. Dari senyumannya, aku ingat. Aku sering melihatnya di cermin. Ia yang memeluk rindu. Kemudian memelukku bersama rindu.

“Aku adalah dirimu.” Bisiknya, yang telah menyatu menjadi aku. Lalu rindu dalam pelukanku berubah menjadi butiran air yang di sebut hujan. Kemudian aku terduduk di atas permadani yang terapung pada danau air mata. Sambil memeluk hujan, di bawah guyuran rindu. Menantimu.

 

Sudut kota yang berkabut, 16 Oktober 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun