Mohon tunggu...
Zein
Zein Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA AL HIKMAH INSTITUTE MAKASSAR

Mungkinkah Pikiran memahami dirinya? #Logika ibarat cermin sempurna yang menampilkan secara terang watak dasar pikiran. Di sanalah, di hadapan cermin itu, pikiran menjadi mungkin memahami dirinya#

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Logika dan Watak Akal

24 Oktober 2022   01:37 Diperbarui: 24 Oktober 2022   02:30 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mempelajari logika substansinya adalah 'upaya menemukan'. Hadirnya logika sebagai disiplin ilmu yang menyoroti akal dari aspek cara kerjanya (berpikir) adalah bukan untuk mengajarkan manusia berpikir. Karena secara apriori berpikir itu sendiri secara potensial ada bersama adanya manusia sebagai entitas yang berakal. Potensi berpikir dari akal, berikut segenap hukum-hukum yang mengikutinya mesti diandaikan secara apriori telah ada sejak manusia eksis (hadir) di Dunia. Karena jika tidak demikian, maka bukan saja logika sebagai disiplin ilmu dengan klaim utamanya 'menjaga manusia dari kesalahan berpikir' itu tidak ada. Tetapi juga akan berimplikasi pada tidak adanya semua ilmu, apakah itu ilmu-ilmu hakiki (filsafat, kedokteran, fisika, kimia dll.) atau ilmu-ilmu konvensional seperti, ilmu tata bahasa, hukum dan lainnya. Lebih dari itu, kita akan terkejut, jika diasumsikan bahwa 'berpikir dan hukum-hukumnya itu tidak ada secara apriori' maka konsekuensinya seluruh konklusi ataupun teori-teori yang diturunkan dari sebuah ilmu, apakah basisnya rasio atau pengalaman empiris dengan observasi dan eksperimen itu menjadi tidak bernilai (absurd).

Jadi, seluruh perdebatan epistemologis tentang pengetahuan, khususnya pada persoalan bagaimana pengetahuan itu hadir dan menentukan standar objektif (ilmiah) bagai nilai pengetahuan manusia yang kemudian melahirkan berbagai macam isme dan mazhab epistemologi akan menjadi tuna-makna dan tanpa dasar. Pasalnya, semua perdebatan epistemologis itu pasti berangkat dari pengandaian bahwa manusia itu dapat berpikir. Dan segenap hukum-hukum berpikir itu ada bersamaan dengan adanya manusia yang memiliki fakultas  akal. Jika semua mazhab epistemologi seperti rasionalisme dan empirisme yang cukup berpengaruh dalam sejarah keilmuan menegasikan berpikir dan segenap hukum-hukumnya pada manusia sebagai makhluk yang berakal, maka mereka tidak akan memperdebatkan nilai pengetahuan dan masalah-masalah yang secara formal dibahas di bawah naungan ilmu epistemologi.

Dengan kata lain, nilai epistemologis dari pengetahuan, terlepas apakah basisnya rasional maupun pengalaman empiris sama-sama menjadi absurd jika, berpikir dan hukum-hukum berpikir benar itu tidak ada. Karena seluruh ilmu adalah hasil dari proses berpikir manusia. Proses manusia dalam memahami realitas. Sehingga jika berpikir dan segenap hukum-hukumnya tidak ada bersamaan dengan hadirnya manusia maka tindak mengetahui menjadi tidak mungkin. Dan karena tindak mengetahui itu menjadi tidak mungkin maka realitas di luar diri menjadi tidak dapat diketahui. Olehnya itu, seluruh ilmu apakah ilmu-ilmu rasional ataukah ilmu-ilmu empiris menjadi tidak ada. Dan karena seluruh ilmu itu tidak ada maka konklusi-konklusi ataupun teori-teori dari suatu ilmu menjadi tidak mungkin diandaikan.

Lalu apa yang dimaksud dengan mempelajari Logika sebagai 'upaya menemukan'. Dengan 'upaya menemukan' yang dimaksudkan adalah mempelajari ilmu logika tidak lain untuk memantik kesadaran manusia tentang se-nyata-nya berpikir dan hukum-hukum yang ada pada akal itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu logika semata-mata hanyalah instrumen bagi akal untuk menyadari hakikat dirinya. Yakni, menyadari apa hakikat dari berpikir, bagaimana proses berpikir, seperti apa hukum-hukum berpikir benar dan masalah-masalah yang secara formal di bahas dalam ilmu logika.

Menimbang fakta di atas maka tidak ayal lagi, sebelum segalanya, pelajaran Logika mesti didahulukan atas pelajaran-pelajaran lain, tak terkecuali pelajaran keagamaan. Atau jika tidak ingin demikian, maka paling tidak dipelajari secara bersamaan. Karena isu-isu seperti, radikalisme, klaim kebenaran tunggal dan takfirisme merupakan implikasi langsung dari sistem pendidikan dan pengajaran yang menganggap ilmu logika tidak bernilai ataukah logika sebagai ilmu orang-orang 'kafir' karena hasil produk non-muslim. Padahal sejak awal telah diterangkan bahwa ilmu logika tidak lain adalah berbicara tentang berpikir dan hukum-hukumnya yang secara apriori telah ada sejak manusia eksis di Dunia. Konsep manusia dalam pernyataan di atas tidak merepresentasikan ke-Muslim-an ataukah ke-Hindu-an juga tidak merepresentasikan ke-Indonesia-an, ke-Amerika-an dan ke-Iran-an, melainkan konsep manusia itu merepresentasikan setiap yang berakal. Olehnya itu, proposisi di atas mesti dilihat dalam relasinya dengan manusia. Karena ilmu Logika memang diperuntukkan kepada manusia, bukan agama, Negara, suku ataupun budaya. Sejak kapan Agama, Negara, suku dan budaya itu memiliki akal sehingga untuk mempelajari ilmu logika mesti mempertimbangkan keagamaan, Kenegaraan, kesukuan dan kebudayaan.
Terang saja, karena ilmu Logika tidak lain adalah formulasi dari watak berpikir itu sendiri dan karena berpikir adalah ciri esensial dari manusia maka mempelajari ilmu logika adalah keniscayaan bagi manusia tanpa pertimbangan embel-embel agama, negara, suku dan budaya. Salah satu argumentasi mengapa mempelajari logika mesti didahulukan atas ilmu-ilmu lain adalah karena hanya dengan memahami cara berpikir yang benar barulah dapat memahami realitas di luar diri dengan benar. Bagaimana jika tidak memahami cara atau kaidah-kaidah berpikir yang benar, apakah dapat memahami dengan benar realitas di luar diri? Jawabannya adalah batil. Karena jika tanpa logika (memahami watak dari cara kerja akal) manusia dapat mengetahui realitas diluar dirinya dan mampu melakukan suatu peradaban kemanusiaan maka, mestinya kambing, kucing dan tikus juga dapat memahami realitas di luar diri mereka dan dapat melakukan semacam peradaban kebinatangan. Tapi kenyataan empiris tidak menegaskan hal itu. Dalam sejarahnya tidak pernah tercatat ditanggal sekian dan tahun sekian lahir satu peradaban kebinatangan yang sama dengan peradaban-peradaban yang dilahirkan oleh manusia dengan akal-budinya. Dengan kata lain jika diandaikan seperti di atas maka tidak ada batas diferensial antara manusia dan hewan-hewan lain.

Berangkat dari kenyataan bahwa hanya dengan memahami watak kerja akal yang benar baru dapat memahami realitas diluar diri dengan benar, dan karena masalah-masalah Ketuhanan, Kenabian dan Hari Akhir termasuk realitas di luar diri maka tidak akan diketahui dengan benar bila tidak memahami kaidah-kaidah berpikir yang benar. Begitu juga dengan objek pembahasan dalam ilmu-ilmu lain seperti, epistemologi, filsafat dan sains tidak akan dipahami dengan benar bila tidak memahami dengan benar hukum-hukum dan kaidah berpikir.

Barangkali uraian singkat di atas dapat memantik kesadaran kita akan nilai penting dan posisi sentral ilmu Logika dalam hidup secara umum maupun dalam mempelajari ilmu-ilmu lain secara khusus. Penjelasan di atas dapat dianggap sebagai penjelasan pra-Logika. Olehnya itu, dalam pembahasan selanjutnya akan dikonsentrasikan pada penjelasan pasca-Logika. Yakni, Logika sebagai disiplin keilmuan dengan subjek bahasan, masalah-masalah ilmu, elemen-elemen ilmu dan metodenya yang khas dan independen dari ilmu lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun