Mohon tunggu...
Zatil Mutie
Zatil Mutie Mohon Tunggu... Guru - Penulis Seorang guru dari Cianjur Selatan

Mencintai dunia literasi, berusaha untuk selalu menebar kebaikan melalui goresan pena.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kisah di Raudhah

6 Januari 2021   17:13 Diperbarui: 6 Januari 2021   17:22 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar latar: pinterest.com

***
Masa orientasi adik kelas dimulai, wajah-wajah baru bermunculan menghiasi pesantren. Entah mengapa, Sidqi mulai jarang menyapaku di sekolah. Walaupun kami tak pernah mengikrarkan satu perasaan, tapi bagiku cukup jelas jika kami mempunyai perasaan yang sama.

Dingin yang menusuk kulit tak menghentikan langkahku menelusuri lorong menuju gerbang sekolah. Tepat di dekat bangunan berkubah perak yang dinamai Raudah aku berhenti. Sesosok siswa yang selama ini mengisi ruang hatiku sedang berduaan dengan siswi baru. Aku tahu siswi itu memang rebutan para siswa di sekolah, namanya Raini.

Hatiku bergejolak, ada bara yang kini berkobar makin dahsyat di dalam sana. Tak terasa tetes demi tetes meluncur membasahi hijab putihku. Dengan gontai kutundukkan pandangan dan berlalu menuju sekolah. Suasana hatiku seketika kacau balau. Nafsu makan pun menurun drastis. Bahkan saat pelajaran favoritku berlangsung perhatianku buyar entah kemana.

"Mut, Mutie! Ayo, makan bakpaunya. Keburu dingin, nih!" Aini mengagetkanku.

"Aku lagi males makan, Ni," jawabku lemah. Lalu beringsut menuju satu ruang. Ruang tempatku mendapat inspirasi untuk mencurahkan perasaan. Ya, perpustakaan. Ruang yang sama ketika aku dan Sidqi selalu membahas buku-buku sastra.

Setelah memilih novel teenlit religy, aku bergegas memilih bangku di pojok perpustakaan. Sengaja, agar bisa menyepi. Hampir setengah buku kubaca, walaupun konsentrasi entah kemana. Suara seseorang membuyarkan kegundahan.

"Mutie, boleh numpang baca di sini."

Suara itu seketika menghentikan laju nadiku. Suara yang kini sangat kubenci.

Tanpa menunggu waktu lama, aku beranjak tanpa suara. Meninggalkan makhluk menyebalkan itu dengan cepat. Sementara dia hanya melongo melihat responsku.

***
Waktu bergulir begitu cepat. Luka kupendam dalam-dalam. Walaupun Sidqi berusaha mendekati, tapi hati ini terlampau sakit. Mungkin ini yang Kakak maksud. Aku tak boleh dulu pacaran hingga lulus Aliyah. Kakak tak ingin perhatianku terbagi dengan hal yang tak penting.

Hari graduasi berlangsung khidmat. Sidqi didaulat menjadi pengantin laki-laki pada upacara adat Sunda berdampingan dengan Kak Fakhira--santri senior--di pesantren kami. Aku yang kala itu menjadi anggota panitia graduasi terpaksa harus bertatap muka langsung dengan Sidqi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun