"bahas 'ariyah dan lain-lainnya"
"lho betul e".
"trus baper".
"leeres.... Eh mboten tooo".
"Wong gus widda lho di Ploso nderekne yai Sembodo".
"hemmm... nggih pun dalem klentu". Kata Reima mengucapkan jurus andalannya lengkap dengan wajah melas dan dimanis-maniskan. Bang Zee bersedakep menunjukkan kemarahannya sebagai seorang ketua organisasi tersebut.
"permisi... rekanita Reima dipanggil buat ngisi Kefatayat an dasar sekarang..". ucap seorang rekan yang diketahui bernama ahmed.
"sip rekan mamed matursuwun... bang zee saya memahamkan anak bangsa dulu njih". Ucap Reima merasa punya angin kebebasan. "pripun? Pareng?". Tanya Reima lagi bergaya tidak berdosa.
"iya sana berangkat." Jawab bang Zee.
Dengan suara yang terlatih dan PD Reima memulai orasi lagi, ia ceritakan embrio awal kefatayatan, tokoh-tokohnya, dan terakhir ia selalu menyisipkan tokoh idolanya Sang Kyai perempuan(red:nyai khoiriyah).
Dadio banyu sing nyegerke, ojo dadi geni sing manaske