Mohon tunggu...
zamsul bakhri
zamsul bakhri Mohon Tunggu... Auditor - Planter

Seorang planter, menghabiskan waktu bersama matahari

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Liga Premier Inggris dan Dilema Sepak Bola Modern

25 Mei 2019   09:25 Diperbarui: 25 Mei 2019   15:04 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abramovich & Sheikh Mansour (sumber : football.london)

Kemenangan Manchester City di final Piala FA minggu kemarin membuat mereka mendominasi kompetisi domestik di Inggris. Namun masih ada satu pertanyaan tersisa mengenai kepemilikan klub, hal yang menjadi pertanyaan bukan hanya bagi penggemar City, tapi bagi sebagian klub besar di Inggris.

Manchester City adalah contoh paling relevan, City saat ini merupakan klub yang paling sukses di Inggris, terlepas dari total jumlah trofi yang diperoleh, dan juga merupakan sebuah klub yang sarat kepentingan politik.

Pemilik City, Mansour bin Zayed Al Nahyan merupakan wakil perdana menteri Uni Emirat Arab (UEA) yang juga seorang anggota keluarga kerajaan Abu Dhabi yang secara tidak langsung merupakan pemegang kekuasaan di negaranya. 

Hal yang berkaitan dengan pemerintahan di UEA yaitu adanya catatan mengenai hak asasi manusia yang merupakan terburuk selama satu dekade terakhir.

Pada bulan November tahun lalu, Devin Kenney, seorang peneliti wilayah Teluk seperti dilangsir dari fourfourtwo, menyampaikan bahwa "Investasi besar UEA di Manchester City adalah salah satu upaya paling berani untuk membersihkan citra negara melalui olahraga, khususnya sepakbola.

 Akan semakin banyak penggemar City yang sadar bahwa keberhasilan klub telah bergantung kepada negara yang mengeksploitasi pekerja migran dan menahan para pengkritik serta pembela hak asasi manusia."

Liga Premier merupakan sebuah liga sepakbola paling sukses selama 20 tahun terakhir yang mampu menarik minat banyak orang-orang kaya di dunia untuk berinvestasi. 

Sepakbola Inggris pun sudah berevolusi menjadi lebih kapitalis dengan menyambut pemilik-pemilik baru bermodal besar, klub dan para fans mulai dibuai oleh kucuran dana berlimpah. Buaian yang pada akhirnya membuat para penggemar tidak sadar kearah mana semua ini bermuara.

Keluarga Glazer di Manchester United tahun lalu menerima dividen sebesar 22 juta poundsterling sementara United tengah terpuruk dan masih berjuang untuk kembali keperformanya sebagai pesaing utama di liga. 

Sebagai usaha untuk menghindari pajak yang besar, perusahaan induk United, Manchester United Plc, saat ini tercatat di Kepulauan Cayman yang merupakan surga bagi para pengemplang pajak. Lalu apakah memberikan uang kepada Glazer ditengah keterpurukan United yang dibatasi untuk membeli pemain oleh manajemennya sendiri dapat diterima?

Hal yang sama terjadi juga pada Liverpool. The Reds dilarang untuk merekrut pemain usia muda untuk memperkuat akademinya setelah melanggar kesepakatan untuk menanggung seluruh biaya hidup para pemain mudanya yang berusia 12 tahun. 

Liverpool juga memiliki kesepakatan dengan Standard Chartered sebagai sponsor utama dengan nilai 160 juta pound, sedangkan Standard Chartered sendiri harus membayar denda sebesar 690 juta pound akibat praktik keuangan ilegal. Sumber dana yang secara moral meragukan.

Southampton, Bournemouth dan Tottenham dilihat sebagai klub dengan keuangan yang sehat, tetapi perusahaan afiliasi mereka tercatat di Bahama dan Kepulauan Virgin yang merupakan surga bagi pengemplang pajak. Apakah ini juga berarti adanya indikasi praktik keuangan ilegal?

Leicester City yang secara terang-terangan memasang banner di Stadion King Power untuk memberikan ucapan selamat dan dukungan kepada Raja Thailand Maha Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun, tokoh yang berulang kali dikritik karena memenjarakan orang-orang yang mempertanyakan kepemimpinannya serta beberapa kejadian dimasa lalu yang dianggap melanggar HAM.

Sementara Chelsea dengan Roman Abramovich yang memiliki hubungan dekat dengan Vladimir Putin dianggap melakukan praktik ilegal untuk mendapatkan kekayaannya. Sedangkan Sheffield United yang baru promosi ke Liga Premier mendapatkan tuduhan menerima unag dari keluarga Bin Laden sebesar 3 juta pound.

Bukan ingin mendiskreditkan, namun dengan hal-hal tadi bukan tidak mungkin bahwa Liga Premier bisa berjalan karena didukung oleh tindakan atau praktik-praktik keuangan yang ilegal.

Memang tidak pada tempatnya meminta para fans bertanggung jawab secara moral terhadap hasil akhir dari sesuatu yang merekapun tidak berdaya untuk menghentikan.

Sebagai fans harusnya dengan tegas memisahkan antara mendukung klub atau mendukung sang pemilik. Namun beberapa fans sudah melampaui batas itu seperti para fans Manchester City yang alih-alih membela klunya, mereka juga membela Sheikh Mansour dari kesalahan dalam politik maupun hak asasi manusia.

Terlepas dari meluasnya komersialisasi sepakbola, para fans tetaplah orang yang loyal pada satu klub. Mereka sudah mendukung klub kesayangannya jauh sebelum pemilik yang baru datang dan akan tetap bertahan walaupun pemiliknya berganti. Loyalitas yang terbentuk secara turun-temurun tidak akan mudah dipatahkan oleh tindakan mereka yang bertanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun