Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Lampu di Kampung Ibu

28 November 2022   13:33 Diperbarui: 29 November 2022   19:46 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Petani dan Lampu| sumber gambar: pixabay.com

***

Tolong belikan bibit ini di toko pertanian.

Aku terkejut menerima dan membaca surat yang dititipkan ayah pada seorang teman untukku. Tulisan tangan rapi pensiunan guru SMK Pertanian itu, berisi satu permintaan tanpa penjelasan. Hanya daftar nama aneka sayuran sertan lima lembar uang kertas berwarna merah.

Dua tahun lalu. Usai pensiun sebagai guru. Ayah menyerah pasrah untuk mengikuti keinginan ibu. Kembali ke kampung ibu. Di rumah nenekku. Kemudian meminta aku dan istriku yang baru sebulan menikah untuk mendiami rumah.

Butuh lima jam dengan menggunakan sepeda motor, hari itu juga kutemui ayah dan ibu. Seperti bertahun-tahun lalu. Kampung ibuku, masih tanpa lampu. Termasuk rumah panggung tua peninggalan nenekku.

Saat menikmati segelas kopi buatan ibu, Ayah menceritakan situasi terkini anak-anak muda di kampung ibu usai wabah corona.

Anak-anak muda itu banyak yang harus putus sekolah. Menurut cerita ayah, mereka akan semakin kehilangan arah, jika dibiarkan hanya berdiam diri di rumah. Atau, mereka akan bikin ulah. Lagi, menurut ayah, sesungguh ada pilihan lain. Menjadi buruh upah, di kebun kopi atau di sawah. Tapi momen itu tak datang setiap waktu.

Karena itu, ayah berniat mengajak anak-anak muda yang putus sekolah, untuk memanfaatkan pekarangan rumah mereka dengan menanam aneka sayuran. Setidaknya itu bisa menambal kebutuhan harian.

"Uang untuk membeli bibit itu, uang mereka! Disisihkan dari uang upah yang mereka dapatkan."
"Oh. Yang tadi...."
"Iya. Baru empat orang yang mau."
"Tak masalah, kan?"
"Malah bagus! Mengubah perilaku itu, bisa dari kecil atau sedikit!"

Aku membisu. Ayah tersenyum, sambil meraih gelas berkopi. Jelang senja, suasana kampung ibu terlihat sepi.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun