Aku tak akan melupakan kalimatmu malam itu. Kau ujarkan di antara derai air mata. Usai kisah kehilangan demi kehilangan memenuhi jalan hidupmu. Aku memilih diam dalam putus asa, karena menitipkan kehilanganku menjadi milikmu.
Seharusnya, akan semakin paripurna ketika memiliki sepasang buah cinta. Seorang anak lelaki sebagai si Sulung, sedang kuliah matematika di Waseda University di Jepang.
Si bungsu, anak gadis yang manis. Baru menginjak kelas sebelas. Dan selalu juara kelas. Anak remaja yang lembut serta tak banyak bicara. Seperti anak tetangga.
"Mereka pasti bahagia, Mas!"
Aku lupa mengingat, berapa kali kau ujarkan kalimat itu. Memiliki anak adalah impianmu. Termasuk beragam usaha, doa, hingga air mata yang menopang impian itu.
"Kita pun bahagia melihat mereka, kan?"
Aku tak perlu menunggu jawabmu. Tugasku hanya satu. Memelukmu. Kemudian, membiarkan dada atau bahuku menampung air matamu.
"Mas mau nulis?"
Pertanyaanmu membenamkan kenanganku. Cerita tentangku, tentangmu, dan inginmu.
Segelas kopi sudah tersaji di atas meja di hadap dudukku. Kau masih berdiri di sampingku. Menunggu.
"Belum dapat ide!"