'Itu satu-satunya film yang aku suka!"
Kau tersenyum sambil menyerahkan gelas berkopi milikku. Kutandaskan isinya hingga di dasar gelas terlihat ampas. Gelas kosong itu kuajukan padamu.
"Nambah lagi, boleh?"
"Teh hambar, ya? Kan, gula darah Mas sudah..."
"Kopi pahit?"
Lagi. Kau tersenyum. Dua puluh tiga tahun hidup bersama, kukira lebih dari cukup bagimu untuk mengenalku. Tahun-tahun yang dipenuhi kisah sempurna. Alur yang nyaris seperti cerita di film itu. Namun dengan situsi yang berbeda.
Tak ada perampokan bersenjata yang menagih nyawa. Melainkan kobaran api yang memberangus rumah beserta isinya. Termasuk ayahmu, ibumu, dua orang adikmu serta seekor kucing anggora berwarna putih.
Tak ada lumuran darah. Melainkan aku yang mengalami luka bakar tingkat tiga. Usai terjebak di lantai dua, untuk menyelamatkanmu. Kekasihku.
Tindakan nekad  itu kulakukan, karena tak sabar menunggu kedatangan petugas damkar. Dan keputusan itu harus kubayar. Pergelangan kaki kananku diamputasi karena komplikasi penyakit gula. Setelah tiga bulan cuti untuk pemulihan, atasan pun memintaku untuk berhenti bekerja.
Entah atas nama cinta atau atas nama nyawa. Kisah itu menjadi tali pengikat antara kau dan aku.
"Aku hanya ingin mencintaimu, Mas!"