Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Tergerus Zaman, Mungkinkah Bahasa Ibu "Terjebak" dalam Gengsi?

21 Februari 2021   15:13 Diperbarui: 21 Februari 2021   20:02 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ibu dan Anak (sumber gambar: pixabay.com)

Ketiga. Dialog penutup, "Tapi ibuku tak mampu. Apalagi sampai menjual kebun seperti ibumu." Itu, menjelaskan betapa susah dan mahalnya untuk mempertahankan apa yang sudah dimiliki. Poinnya, sampai orangtua menjual kebun, tapi hasilnya "melupakan" akar daerah asalnya.

Atau, mungkin aja ada motivasi tersembunyi dari penutur, agar terlihat "berbeda" atau terdengar "lebih pinter" ketika dalam keseharian menggunakan percakapan dengan pilihan kalimat seperti dialog di atas. Bisa saja begitu, kan?

foto : Warga menulis aksara Sunda di atas kain saat pemecahan Original Rekor Indonesia (ORI) di Batujaya, Karawang, Jawa Barat, Jumat 21/9/2018. (sumber gambar: bandung.kompas.com)
foto : Warga menulis aksara Sunda di atas kain saat pemecahan Original Rekor Indonesia (ORI) di Batujaya, Karawang, Jawa Barat, Jumat 21/9/2018. (sumber gambar: bandung.kompas.com)
3 alasan Bahasa Ibu Bisa Tergerus Waktu

Mungkin ada unsur subjektivitas yang kuajukan dalam menelaah dialog itu. Namun, aku coba ajukan beberapa sebab tergerusnya bahasa ibu. 

Entah itu dimaknai bahasa daerah yang memang disepakati sebagai awal bahasa ibu, atau bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa.

Pertama, Tersendatnya Transmisi Komunikasi Orangtua dan Anak
Masa kini, komunikasi menjadi barang mahal di antara orangtua dan anak. Orangtua sibuk dengan pekerjaan, anak-anak sibuk dengan pendidikan. Ruang percakapan jarang terjadi di meja makan, di ruang keluarga atau di kamar. Tapi berwujud gawai atau media sosial.

Karena keterbatasan ruang dan waktu dalam berkomunikasi. Maka media berupa gawai atau media sosial dijadikan perantara pun, menggunakan bahasa sekadarnya. Karena terbentur cara menuliskan bahasa daerah dalam tuturan lisan. Maka bahasa Indonesia dijadikan pilihan. Jika ini berlaku masif, maka bahasa daerah akan tergerus.

Kedua, Tak Awas terhadap Asimilasi dan Akulturasi Budaya
Saat ini, Tak mungkin dicegah terjadinya asimilasi dan akulturasi budaya. Termasuk di dalamnya adalah perkawinan campur. Pernikahan dari dua budaya berbeda orangtua, bisa saja menjadi faktor "penghambat" keberadaan bahasa ibu bagi anak-anak mereka, kan?

Anggaplah terjadi kompromi, semisal ayah dari Minang, sedangkan ibu asal Sunda. Jika ternyata mereka tinggal di Makasar atau Blitar. Kompromi dalam bentuk apa yang bisa dilakukan untuk "mempertahankan" bahasa ibu?

Ketiga, Mungkinkah Bahasa Ibu Terjebak dalam Gengsi dan Cap Kampungan?
Dalam banyak kasus, jika ada ungkapan yang dilontarkan dengan bahasa daerah. Acapkali mengundang tawa, alih-alih mengundang tanya tentang maknanya. Namun, berbeda nilai dan sikap, jika seseorang melontarkan itu dalam bahasa asing semisal bahasa Inggris, kan?

Hematku, secara tak sadar, saat ini terbangun sikap rendah diri (inferior) jika menggunakan bahasa daerah sendiri. Ada kalanya muncul rasa khawatir dianggap Ndeso dan kampungan. Dan merasa bangga dan pintar jika mampu berucap dalam bahasa asing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun