Ada satu kamus lumus bersembunyi di kepalaku. Namun, pilihan kata-kata menemui jalan buntu. Tersendat menata kalimat pantas untuk keberadaanmu. Sebab, kau titianku.
Bulir-bulir embun tak pernah sengaja menempuh jalan sunyi. Tetapi, menemani pagi merajah sisa-sisa sepi. Aku bukan butiran embun yang betah terkurung di bilik lamun. Kau adalah embunku.
Pada langit, aku belajar melupakan rasa sakit. Usai jejak dulu menjadi bayang utuh, sebuah rasa yang merampas kenangan. Namun, aku tak mampu menghapus kata itu dari ingatan.
Tak lagi bertanya kepada lupa, apakah mampu aku membasuh air mata. Bila rimbunan hari-hari terbiar berkerumun resah, kugenggam paksa lembaran senja-senja yang basah.
Aku pernah berjanji menjagamu. Namun, tak mampu menahan lesatan batas waktu yang terus melaju. Hingga kelam memberitahu, aku kehilanganmu.
Kau pernah ajari tentang rindu. Namun, kau terlupa ajari aku mereguk pilu. Hingga aku tertatih merajut ragu, menjejaki arah perjalanan tunggu.
Ketika hening membisu. Ada bisik gagu untukmu. Ibu.
Curup, 23.12.2020
zaldychan