"Saatnya aku pergi." Bisiknya, yang segera ditebarkan angin.
Membiarkan pagi memperpanjang durasi, menyimak percakapan embun dengan secangkir kopi. Menjadi saksi kepedihan anak negeri tak lagi menikmati tahu isi, sebab biji kacang hijau tak lagi terbeli dari luar negeri.
Mendengar pertengkaran mentari dengan secangkir kopi. Tentang harga diri petinggi negeri, yang dilukai pengabdi sunyi. Seperti nilai jual klepon yang semakin tinggi, hingga tak lagi mudah dijumpai di kedai kopi.
"Aku harus pergi."Â Teriaknya kepada angin. Tak butuh waktu lama, segera tersebar di ruang angan.
Malam berdiri kaku di pintu lupa. Menyaksikan perselisihan senja dengan secangkir kopi tanpa gula. Tentang luka-luka cinta penuh kenangan airmata. Tentang luka-luka rindu yang terbelenggu genangan tunggu.
Mengabaikan bulan yang tanpa sebab menunda purnama. Pun jajaran bintang lelah menyajikan warna hampa yang sama. Alur waktu terus melaju, dan berlalu menipu.
"Aku mau pergi!" Ujarnya untukku, di ruang tamu.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Aku tak lagi mampu hadirkan tawa!" Sesalnya.
"Kau mau ke mana?" Lagi, tanyaku untuknya.
"Belum tahu!" Keluhnya sebagai jawaban.
Kukira, keluguan telah membuat lucu merasakan pahit putus asa. Angin terkesima. Aku tertawa.
Angin tiba-tiba ingin bersembunyi. Akupun bergegas mencari secangkir kopi. Kau?
Curup, 25.07.2020
zaldychan