"Teeeng..."
"Airnya tu?"
"Yuuun!"
"Tidak terki..."
"Yaaa..."
Ada rasa bangga, saat mendengar anakku mampu menyambung setiap larik yang kunyanyikan walau satu suku kata. Sebagai orangtua, saat itu, aku merasa istimewa. Apalagi, jika nyanyian itu hadir dalam pertemuan-pertemuan keluarga.
Pada usia 3 tahun, kubelikan anakku sepeda, dengan dua roda bantu di bagian belakang. Setiap ada waktu, kuajak anakku bermain sepeda. Tanpa sadar, saat anakku terjatuh, aku malah tertawa. Ada rasa puas, saat anakku lancar bersepeda, walau dengan beberapa luka.
Sebagai orangtua, kurasakan tekanan semakin besar saat anakku mulai beranjak ke usia sekolah. Aku semakin dikejar waktu, untuk mengajarkan banyak keterampilan dan pengetahuan bagi anakku. Agar nanti tak merasa rendah diri dan malu karena tak mampu.
Aku mulai merasa jengkel, saat anakku susah membedakan antara huruf dan angka. Merasa geregetan, ketika jemarinya tak bisa memegang pensil dengan benar. Terkadang, suaraku bernada amarah, jika anakku belum mampu mengikat tali sepatu yang sebenarnya mudah. Â
Perbandingan demi perbandingan mulai kulakukan. Dan merasa kecewa, menerima kenyataan jika segala yang sudah aku upayakan, ternyata anakku tak bisa seperti teman-temannya.