Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kau Masih Mengingat Surat Itu?

14 Februari 2020   14:02 Diperbarui: 14 Februari 2020   14:09 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

"Aku yakin dan percaya. Mas akan menjadi ayah terbaik, bagi anak-anak yang lahir dari rahimku. Kita akan bersama selamanya. Selamat hari kasih sayang, Mas!" - Aku. Cintamu.

Kertas surat itu tak lagi berwarna biru. Terlihat semakin kusam dengan tulisan tangan yang buram.

Telah menempuh perjalanan waktu yang jauh. Duapuluh tiga kali pertukaran tahun, dan ribuan titik persinggahan matahari dan rembulan, penanda pergantian hari demi hari.

Kau masih mengingat surat itu?

***

"Nisa cantik, Mas."

"Ibunya juga, kan?"

"Haha..."

"Lah? Kenapa tertawa?"

"Dulu gak mau, bilang ibunya cantik!"

"Lupa!"

Plak!

Nisa, nama yang kau pilih untuk gadis kecilmu. Adalah pembuktian jalan terang untukku. Mereguk makna sebenarnya, dari sebuah keyakinan dan kepercayaan. Bagiku, kau adalah peramal masa depanku.

"Tahun depan, Nisa masuk TK, Mas!"

"Enam bulan lagi, kan?"

"Tapi belum bisa baca. Hanya..."

"Biarlah. Belajar ngaji dulu!"

"Katanya, kalau..."

"Nanti di TK baru belajar membaca!"

***

"Ayah! Besok ibu ulang tahun, kan?"

Mata gadis kecilmu menatapku. Perlahan, kuanggukkan kepala sambil tersenyum. Tanganku segara merengkuh bahunya, dan membenamkan wajah itu dalam pelukku.

Aku tahu. Raut wajah itu tak lagi senada dengan kalimat tanya. Tak lagi menyisakan ceria. Berganti penyesalan diam-diam, dan berakhir dengan tangisan terdalam.

"Eh, kenapa anak gadis Ayah menangis?"

Tak ada jawaban. Hanya getar tubuh mungil itu semakin terasa. Pelukan itu erat mendekap leherku. Gadis kecilmu, berusaha meredam isak tangis yang tak mungkin mampu ditahan.

"Rindu Ibu?"

Kembali tak ada jawaban. Hanya anggukan kecil kurasakan di bahu. Bagiku, usapan pelam di kepala adalah cara terbaik mewakilkan rasaku.

***

Tak biasanya. Padahal azan subuh sudah sejak tadi berlalu. Tapi tak ada tanda-tanda atau bunyi pergerakan dari kamar sebelah. Aku bergegas menuju kamar tidur gadis kecilmu.

"Bangun, Nak! Subuh udah dari tadi!"

Mata itu perlahan terbuka. Seulas senyum tersaji untukku.

"Ayah mau ngopi?"

"Nanti aja. Nisa sholat dulu, ya?"

Anggukkan pelan hadir sebagai jawaban. Kutinggalkan gadismu di kamar.

***

Jelang pukul tujuh. Gadis kecilmu telah berdiri di pintu kamar. Sudah rapi berpakaian sekolah. Tak perlu bersuara, aku mengerti. Itu adalah tanda untukku bersiap pergi..

"Berangkat sekarang?"

"Iya."

"Obat batuk udah diminum?"

"Sudah! Ayah malam tadi gak tidur, kan?"

"Hah?"

Tanpa aba-aba, dan tak bersuara. Tubuh gadis kecilmu bergerak ke arahku, segera memelukku. Tak ada yang bisa kulakukan. Hanya diam dan menunggu.

Hari kemarin, juga pagi ini. Dua kali, kudapatkan pelukan gadis kecilmu. Hal yang mulai langka kudapatkan. Menginjak angka sebelas usianya.

"Selamat hari kasih sayang, Yah!"

"Kan, Ayah lakukan sejak Nisa lahir?"

"Ibu yang lahir hari ini, Yah! Tapi..."

Kalimat itu tak selesai. Gadis kecilmu lebih memilih airmata. Sepertimu, airmata adalah tempat persembunyian rasa, jika tak mampu diwakilkan dengan kata-kata.

Butuh jeda waktu, hingga pelukan itu merenggang. Kulihat, bulir bening masih bersisa di sudut mata itu, walau berusaha keras memberikan senyuman. Tak kubiarkan, jemariku bergerak cepat mengusap kedua pipi gadis kecilmu.

"Hei! Badanmu panas!"

Aku terkejut! Bertahun dan berkali melalui momen itu. Kali ini, naluriku telah terlatih. Tak ada lagi ruang bagi gadis kecilmu untuk sembunyikan rasa sakit.

"Hari ini, gak usah sekolah! Biar Ayah hubungi guru!"

"Nisa ada ulangan,Yah!"

"Istirahat dulu! Ulangan bisa nyusul!"

Kau sangat mengenal nada suaraku. Juga gadis kecilmu. Tak lagi ada perdebatan jika sudah seperti itu.

"Tukar baju. Tidur! Ayah beli obat!"

"Yah..."

"Apa?"

"Nisa ingin ke tempat Ibu, Yah!"

***

Kertas surat itu tak lagi berwarna biru. Hari ini, terlihat semakin kusam dengan tulisan tangan yang buram. Tergenggam erat di jemari gadis kecilmu yang tertidur pulas.

Maafkanlah. Kuserahkan surat itu, usai enam tahun pergimu. Sore nanti. Aku berjanji mengajak gadis kecilmu mengunjungimu. Semoga mengusap rasa rindu itu untukmu.

Kau mau menungguku?

Curup, 14.02.2020

zaldychan

#Nik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun