"Hujan terus! Baju Mas jadi basah, kan?"
"Lebih bagus hujan rindu, ya?"
Kali kedua, tawamu hadir. Renyahnya menghangatkan tubuhku yang mulai mengajak seluruh lubang pori-pori bersekutu melawan dingin. Bagimu, kalimat itu rayuan. Bagiku rindu itu adalah perjuangan.
Ingin rasanya bercerita padamu. Kau dan aku baru seminggu menggenggam rindu. Andai kau tahu rasa sakit yang begitu lama dilalui butiran hujan saat berdiam di awan. Tak henti membujuk langit, merelakan berjuta-juta butirannya berjatuhan.
Jauh pengembaraan butir hujan menyapa cakrawala, dan akhirnya bermuara di alam raya. Menjadi bahan kisah-kisah indah tentang cinta. Atau menjadi teman cerita orang-orang yang terluka.
Malam itu, cukup hadirku mengobati rindumu. Tak kutemukan alasan terbaik, saat aku tak menanyakan kabarmu. Aku ingin kau tahu. Rinduku seperti hujan. Yang berjatuhan tanpa pertanyaan dan tanpa alasan.
***
"Maafkan Mas, ya?"
"Untuk apa?"
Nyaris tiga minggu tak bertemu. Sejak terakhir aku hadir di ruang tamu rumahmu. Dan butuh tiga minggu, usahaku berdamai dengan rasa dan inginku. Kembali mengulang dan mengingat setiap kata-kata yang terucap dari mulut ayahmu.
Biasanya, aku terlatih untuk menjawab semua pertanyaanmu, namun tidak pada perjumpaan sore itu. Lima belas menit berlalu. Hanya kalimat itu yang tersedia untukmu. Kau dan aku kembali meracik sunyi dengan ramuan sepi.