Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Lagu Daerah di Persimpangan Sejarah?

30 Agustus 2019   18:33 Diperbarui: 25 Juni 2021   05:08 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : http://senidansastrapopuler.blogspot.com

"Kebudayaan yang benar dilahirkan di alam, sederhana, rendah hati, dan murni" Masanobu Fukuoka, (1913-2008) The One-Straw Revolution

Pernah dengar lagu Kuch Kuch Hota Hai? Atau malah menonton film dengan judul yang sama? Ingatan kita akan diantarkan pada kisah persahabatan dan percintaan antara Shah Rukh Khan, Kajol dan Rani Mukerji. Dirilis Bollywood tanggal 16 oktober 1998, film yang meraih aneka penghargaan itu, mematrikan ingatan kita pada kata India.

Atau lagu syahdu Tum Hi Ho dengan suara khas Arijit Singh sebagai Original Soundtrack film Aashiqui 2? Yang keren dinyanyikan oleh Fildan Rahayu Asal Baubau Morowali Sulawesi tengah sang finalis kontes dangdut salah satu televisi swasta. Jawabannya  tetap sama. Itu lagu India. Gegara berbahasa India, kan? Heheeu..

Aku bandingkan dengan lagu romantis Just For You yang dinyanyikan Richardo Cocciante yang banyak membuat perempuan jatuh hati atau patah hati mendengarnya. Lama setelah itu, aku tahu. Ternyata pada tahun 1976 dirilis dalam bahasa italia dengan judul Margherita. Walau keduanya huruf kusut, aku lebih menyukai versi Inggris-nya. Ahaay..

Terus, apa hubungannya? Dua lagu pertama, dibawakan oleh siapapun. Akan asyik didengar jika dibawakan dengan bahasa aslinya, kan? Nah, di lagu ketiga itu, bisa saja aku salah.

Baca juga: Lagu Daerah Terancam Punah, Benarkah?

Gegara lidah melayu yang sulit melafalkan bahasa Italia, kukira lirik asli lagu itu memang Just For You versi bahasa Inggris! Ini aku sajikan link-nya disini, ya? Karena aku mengenal sejak awalnya begitu. Eh, ternyata Margherita. Haha...



Benang merahnya pada orisinalitas bahasa aslinya! Yang menjadi ciri khas lagu itu adalah bahasa yang digunakan.

Identitas Awal Lagu Daerah Itu, Bahasa yang Digunakannya!
Gegara tak ada identitas bahasa dalam lagu, maka Indonesia dan Malaysia pernah terlibat konflik. Yang muncul ke permukaan adalah lagu "Rasa Sayange".

Lagu daerah dari Maluku yang biasa dinyanyikan untuk memulai berbalas pantun ini, Ketika tahun 2007, diklaim dan oleh Departemen Pariwisata Malaysia digunakan untuk promosi kepariwisataan Malaysia.

Warganet juga pemerintah Indonesia, menjadi heboh. Puncaknya, saat lagu tersebut disajikan saat pesta pembukaan SEA Games 2017 di Stadion Nasional Bukit Jalil Kuala lumpur Malaysia. 

Banyak jejak digital untuk melihat perang argumentasi plus cuitan netizen yang maha benar tentang klaim lagu tersebut. Wikipedia pun sudah  menyajikan kontroversi itu dengan runut. Dan belum usai sampai sekarang!

Kok bisa gegara bahasa? Coba simak lirik pengantarnya  yang ada dirilis 10 juni 2013. Yang udah ditonton 15.334.581 orang saat artikel ini kutulis.



Rasa sayang e rasa sayang sayang e

Eee liat nona dari jauh rasa sayang-sayang ee..

---

Rasa sayang e rasa sayang sayang e

Eee liat Ambon dari jauh rasa sayang-sayang ee..

Nah, lirik kedua tersebut, berbeda sedikit dengan yang disajikan dalam film Upin dan Upin atau sajian video lagu anak di atas. Atau yang terdapat dalam berbagai buku lagu daerah di Indonesia,  juga pada foto artikel ini. Termasuk Wikipedia, kata "Nona" ditukar dari sebelumnya "Ambon". Ahaay...

Paparan tiga contoh di atas menjadi landasan pentingnya orisinalitas termasuk bahasa. Apatah lagi untuk lagu daerah, kan? Pertanyaannya, apakah semua lagu berbahasa daerah bisa disebut lagu daerah?

Jika menjawab, "Namanya juga lagu daerah, mesti berbahasa daerah, Bro!" Aku ajukan dua contoh yang termasuk lagu daerah.

Baca juga: Memopulerkan Kembali Lagu Daerah a la Industri Musik Korea Selatan

Dari Maluku "Burung Kakak Tua" atau lagu "Potong Bebek Angsa" dari Nusa Tenggara Timur. Keduanya, menggunakan lirik bahasa yang mudah dipahami anak negeri kan?

Atau, apakah lagu yang dinyanyikan Didi Kempot, Via Valen, atau Nella Kharisma itu lagu daerah? Atau lagu berbahasa daerah? Apakah lagu pop yang dinyanyikan Betharia Sonata dengan versi Minang, Batak, atau Sunda, juga dianggap lagu daerah? Aih, malah nanya, ya? Haha...

sumber foto : http://www.sekitarmusik.com/
sumber foto : http://www.sekitarmusik.com/
Lagu Daerah Itu, adalah...
Aku menemukan satu kajian ilmiah, bagaimana menilik lagu itu masuk kategori lagu daerah. Dari skripsi Berlian Juwanda Putra, Jurusan Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yokyakarta (2014) dengan judul "Perbandingan persepsi siswa terhadap lagu daerah dan lagu pop di SMP Negeri 1 Muntilan."

Dipaparkan dalam skripsi tersebut. Bahwa Lagu Daerah merupakan jenis lagu yang ide penciptaannya berdasarkan atas budaya dan adat istiadat dari suatu daerah tertentu.

Di dalam lagu tersebut terkandung suatu makna, pesan untuk masyarakat serta suasana atau keadaan masyarakat setempat, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah setempat

Ciri-ciri gampangnya adalah; Pertama, Sederhana. Lagu daerah biasanya bersifat sederhana baik melodi maupun syairnya. Tangga nada yang digunakan kebanyakan tangga nada pentatonis. 

Tangga nada pentatonis adalah tangga nada yang terdiri atas 5 nada berjenjang. Tangga nada pentatonis sebenarnya tidak dapat dituliskan dalam notasi umum. Namun, notasi pentatonis dapat diterapkan mendekati jajaran nada yang digunakan nada do-re-mi-sol-la.

Kedua, Kedaerahan.  Lirik syair lagu daerah sesuai dengan daerah atau dialek setempat yang bersifat lokal karena lagu daerah tumbuh dari budaya daerah setempat. Lagu daerah, syairnya bersifat kedaerahan sehingga artinya hanya dimengerti oleh daerah tersebut.

Ketiga, Dinyanyikan Turun-Temurun. Lagu daerah pengajarannya bersifat turun-temurun dari orang tua kepada anaknya atau dari nenek kepada cucunya. Lagu daerah tersebut biasanya diciptakan dalam kondisi alam di daerah setempat.

Keempat, Jarang Diketahui Penciptanya. Lagu daerah tidak diketahui penciptanya, tidak tertulis, dan sifatnya bukan semata-mata untuk tujuan komersial. Semisal apuse, jali-jali atau cing cangkeling.

Kukira, Jika berpijak dari 4 kategori ini, bakal mudah memasukkan serta membedakan kategori lagu daerah dan lagu berbahasa daerah, kan? Atau sesungguhnya ada kategori baku untuk mengklasifikasi itu. Tapi aku gak tahu. Hiks..

sumber foto : https://www.adatnusantara.web.id
sumber foto : https://www.adatnusantara.web.id
Terus, Kenapa Lagu Daerah Tergerus? Jejangan Bakal Jadi Sejarah?
Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Aku ajukan beberapa pendapatku, ya?

Pertama, Kurangnya sajian budaya daerah di aneka jenjang pendidikan. Bisa surfing dan lihat tentang Lagu Daerah atau Tarian Daerah pada Kurikulum 2013. 

Aku masih ingat dulu waktu sekolah dasar. Mulai kelas 3 mesti menghafalkan lirik lagu daerah. Salah satu yang sangat kuingat adalah "Bungong Jeumpa". 

Tak hanya menyanyikan dengan dialek Aceh, tapi harus kuasai notasinya dan bisa dibawakan dengan seruling atau pianika.

Saat kelas 6, untuk mengambil nilai ujian akhir pelajaran kesenian. Aku dan semua siswa, mesti bisa lakukan itu pada 12 lagu wajib nasional dan 5 lagu daerah. Susah, kan? Adakah sekarang begitu?

Baca juga: Lagu Daerah Ngehits di Kalangan Milenial, Lanjutkan ke Internasional.

Kedua, Dampak akulturasi budaya saat ini dengan logika yang berbau barat atau luar negeri dianggap trendy, perlahan menelan ragam budaya lokal, termasuk lagu daerah. Apalagi ruang sajian lagu-lagu daerah terkadang hanya dipaparkan pada acara seremonial dan simbolik!

Ketiga, ada fenomena berbingkai kreativitas. Yang versiku, secara tak langsung berpengaruh menggerus eksistensi lagu daerah.

Awal tahun 90-an dengan housemusic dan remix hingga sekarang koplo. Sehingga orisinalitas kesederhanaan lagu daerah menjadi sedemikian rumit. Walaupun itu tergantung selera, ya?

Efeknya? Boomingnya sesaat! Ingat bagaimana beberapa grup musik, artis bahkan komika memparodikan atau malah mencampurkan berbagai lagu, kan? Pendengar menjadi mudah bosan dan akhirnya terlupakan.

Keempat, Kurangnya wadah untuk ekplorasi di media mainstream, kurangnya perlindungan hak cipta hingga terjadi kontroversi seperti lagu "Rasa Sayange" serta minimnya penghargaan terhadap musisi daerah.

Coba saja, semisal pemerintah pusat atau daerah membuat event penghargaan khusus dan rutin buat musisi daerah, atau semisal mengadakan acara Bintang Radio dan Televisi tahun 70-80an. Yang melahirkan Hetty Koes Endang, Eddie Silitonga, atau Bob Tutupoli dan lain-lain. Kukira eksistensi lagu daerah akan kembali hadir.

Jadi, begitulah. Budaya Bangsa adalah gambaran manusianya. Seperti kutipan dari Masanobu Fukuoka. Seorang filsuf Jepang tapi lebih suka disebut petani. Sepakat? Hayuk Salaman...

Curup, 30.08.2019
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Taman Baca:
https://id.wikipedia.org
http://eprints.uny.ac.id/17682/1/Berlian%20Juwanda%20Putra%2010208244063.pdf
https://nasional.tempo.co/read/111760/indonesia-dan-malaysia-mengkaji-rasa-sayange
https://indopos.co.id/read/2017/08/19/107481/lagu-kontroversial-rasa-sayange-berkumandang-di-bukit-jalil/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun