Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | "Just for You" [15]

16 Agustus 2019   08:15 Diperbarui: 16 Agustus 2019   08:26 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Tinggalkan Warung Bude hampir maghrib. Kau dan aku naiki bis kota. Berhenti di Simpang Tiga Tunggul Hitam. Tergesa, berjalan masuki Cendrawasih. Aku mampir di masjid. Kau teruskan langkah. Pulang ke rumahmu.


Usai maghrib. Kau menungguku di beranda. Tersenyum saat kuucap salam. Aku segera duduk di sisimu. Kau menatapku. Kunyalakan sebatang rokok.

"Minum teh, ya?"

"Kopinya habis?"

"Tadi di kantin ngopi. Di Warung Bude juga! Sekarang..."

"Buatan Nunik belum, kan?"

Tak lagi bicara. Kau beranjak ke dalam rumah. Tak lama, tanganmu sudah membawa segelas kopi juga asbak. Sambil tertawa, kau ajukan ke hadap dudukku.


"Sudah disiapkan?"

"Iya!"

"Kenapa nanya?"

"Siapa tahu bisa nego!"

"Haha..."

"Kopi terus! Tadi di kantin gak makan. Di warung Bude, Nik sendirian makan soto!"

"Mas belum lapar!"

"Sampai kapan begitu? Kalau Mas..."


Kalimatmu tak selesai. Kau memilih diam. Pola makanku, acapkali jadi bahan omelanmu. Dan, kau juga tahu. Itu sukar untuk kuubah. Aku tersenyum, saat kau ajukan kelas berkopi. Kuraih dan reguk sedikit isinya.

"Nanti malam. Mas makan!"

"Mie?"

"Haha..."

"Kalau Mas sekarang sakit-sakitan. Gimana nanti?

"Nanti? Kan, Nunik yang masak? Mas bakal rajin makan!"

"Alasan!"

"Iya!"

Kau berdiri. Masuk lagi ke rumah. Kembali dengan bundel map di tangan. Aku jadi tahu. Saat draft skripsimu, kau ajukan padaku juga pensil. Itu kebiasaanku. Ada saja yang kucoret atau dilingkari. Tak lagi bicara, aku mulai membaca draft skripsimu. Kau diam menunggu. Tanganmu memegang kertas dan pena.


Adzan isya sudah sejak tadi. Kuserahkan draft skripsi padamu. Wajahmu cemberut. Terpaksa menerima hasil coretanku. Kertas di tanganmu juga nyaris penuh. Kau simpan dalam map dan kau letakkan di meja. Kureguk kopi. Kembali menyalakan rokok. Kau bersandar menatapku.

"Masih banyak kan, Mas?"

"Gak! Perkuat landasan teori aja!"

"Susah cari bukunya!"

"Nanti Mas temani!"

"Belum lagi pembimbing susah ditemui! Sepertinya, gak bisa cepat, Mas!"


Aku menatapmu. Kau tertunduk. Aku mengerti. Fokusmu bukan selesaikan skripsi. Kuusap kepalamu.

"Biar tenang dulu, baru kerjakan! Jangan asal sudah!"

"Tapi..."

"Mas ngerti! Tapi, Nik sekarang lagi gak mikir skripsi, kan?"


Kau terdiam. Wajahmu semakin ditekuk. Beberapa saat sunyi hadir di beranda. Perlahan, kau angkat wajahmu ke hadapku. Beningmu hadir. Tak kau usap. Bulir itu ada untukku.

"Nik belum siap. Kalau Mas..."


Udara malam itu. Tak lagi hangat. Begitu juga di beranda. Kubiarkan kau nikmati tangismu. Aku tahu, itu bukan karena lemahmu. Tapi perempuanmu. Kau bertahan dengan caramu.

"Tahu kenapa Mas memilih Nunik?"

"Hah?"

"Pernah Nik tanya, kan?"

"Iya! Tapi Mas gak mau jawab!"

"Sekarang Mas jawab!"

Kau usap sisa beningmu. Kau diam menunggu. Kutatap matamu. Kau segera menunduk. Kuraih kertas dan pena di atas meja. Kutulis kalimat singkat dengan huruf kapital. Kuserahkan padamu. Segera kau baca.

"Nik mau?"


Tak ada jawabmu. Cukup bagiku, satu anggukan kecilmu. Kembali kuusap kepalamu. Kureguk habis isi gelas. Kau sangat tahu gelagat itu. Segera kau lirik jam di tanganmu.


"Mas..."

"Berhentilah menangis! Biar Mas bisa pulang!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun