Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Idulfitri, Kembali Merasakan "Kesucian Jiwa"

5 Juni 2019   17:26 Diperbarui: 5 Juni 2019   17:28 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi tadi, bersama keluarga besarku. Melakukan sholat idul fitri 1 syawal 1440 H di Lapangan Setia Negara.

Tak hanya kebahagiaan melakukan shalat, namun menyaksikan ribuan jamaah hadir, tak hanya tujuan ibadah. Namun ajang pertemuan dengan orang-orang yang jarang ditemui sehari-hari. Ketika seusai sholat, tak langsung pulang. Saling berbagi senyuman, saling menyapa dan berjabat tangan bahkan berpelukan dengan iringan aneka kalimat bermakna "maaf".

Menurutku, satu rahasia kecil dari mengucapkan "Mohon Maaf Lahir Batin", adalah kita kembali dalam posisi "setara". Tak ada yang merasa lebih bersalah dan tak lagi ada merasa paling benar. Posisi kembali sama dan setara.

Berposisi sama inilah makna harfiah dari "idul fitri". Serapan dari bahasa Arab 'Aidu" bermakna kembali, dan fitri dari kata "fitratun" berarti suci atau sesuatu yang berawal dari kemurnian. Dua kata itu disatukan bermakna "kembali suci" atau "kembali murni".

Dalam alqur'an dinyatakan "kullu mauludin fitrah" artinya "setiap yang 'dilahirkan' itu dalam keadaan suci". Banyak sekali ditafsirkan bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan. Sesungguhnya makna "dilahirkan" itu bukan sosok ragawi bayi. Namun "nafsu" atau jiwanya!

Jadi, keutamaan maknawi idul fitri sesungguhnya yang kembali suci atau kembali murni itu adalah "jiwa" dari setiap manusia. Ukuran kesucian jiwa itu hanya pemilik raga dan Tuhan yang tahu! itulah dasar kutuliskan "rahasia kecil" dari kalimat saling berucap maaf.

Foto Dokpri. Shaf laki-laki tampak dari depan
Foto Dokpri. Shaf laki-laki tampak dari depan
Ramadan dengan segala keberkahannya, menjadi "sarana" untuk menyerap ajaran sekaligus ujian bagi setiap "jiwa manusia". Tak hanya fisik, Agar kita merasakan apa yang dialami oleh orang lain.
Merasakan kelaparan, merasakan kehausan, melatib diri dari tuntutan hawa nafsu dan menjaga amarah. Itu hanya sedikit dari lika-liku yang dialami oleh orang-orang yang tak seberuntung kita. Apapun asal, golongan, agama atau keyakinan yang dimilikinya.

Begitu juga saat pelaksanaan sholat Ied! Tak ada yang lebih kaya, lebih terhormat, lebih berpangkat, lebih miskin atau lebih menderita. Walau tak saling kenal, semua berdiri di barisan shaf yang sama tanpa keributan, duduk saling berdampingan saling berjabat tangan, bersimpuh dengan kepada pemili semesta dengan cara yang sama. Tak ada yang ingin lebih atau merasa kurang.

Foto Dokpri. Shaf perempuan tampak dari belakang
Foto Dokpri. Shaf perempuan tampak dari belakang
Di akhir sholat, ketika shaf sudah bubar, tak ada pembahasan atasan-bawahan, kaya-miskin, susah-senang, golongan A-golongan B. Semua berhimpun dan bersatu. Bersama berbagi senyuman, berjabat tangan bahkan berpelukan. Memaknai kebersamaan sebagai manusia utuh. Menghadirkan ketenangan dan kenyamanan laksana bayi yang baru dilahirkan. Merasakan kembali "kesucian jiwa".


Kukira, itulah hikmah dari kalimat "Maaf Lahir Batin". Tak sekedar melalui lisan juga akal fikiran dan perasaan. Sepenuh hati dan jiwa untuk saling memaafkan.

Demikianlah, semoga kita semua mampu mengawetkan hikmah dari Idul fitri ini. Hingga saling bergandeng tangan mengikat kemanusiaan dalam ketulusan silaturahmi. Amiin...

Curup, 05.06.2019
zaldychan
[Ditulis Untuk Kompasiana]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun