Jika siang ini, di meja makan hanya disajikan hidangan telur ceplok beserta kecap manis, pilihan saat santap siang kita adalah telur ceplok. Tinggal memilih menggunakan kecap atau tidak, kan? Beda jika di rumah makan padang, dengan hidangan aneka pilihan lauk-pauk. Butuh waktu untuk menentukan, lauk apa yang menggugah selera, tah?
Maafkanlah, jika aku berilustrasi begitu. Kan Pilpres hanya dua pasang? Tinggal pilih, tapi masih juga "rusuh"? Hematku, yang membuat rusuh, bukan kedua pasangan itu. Tapi koalisi partai yang mengusung pasangan tersebut, kan?
Perbedaan visi dan misi partai, menjadi penyebab. Kemudian "terpaksa" menyigi kesamaan untuk berkoalisi. Kenapa kuujarkan "terpaksa"? karena selain mengusung, kedua pasangan eksekutif itu juga tempat bernaung, kan? Ahaay...
Dengan minimnya "daya rekat" partai politik kepada akar rumput. Serta banyaknya elit partai yang  terjerumus kasus. Bakal memancing apatis masyarakat terhadap fungsi dan keberadaan partai politik.
Jika sudah begitu, kritik Edmund Husserl dibenarkan. Ketika dunia modern yang menekankan pada dunia yang objektif, serba formalistik, materialistik, dan mekanik sebagai penyebab kehancuran nilai kemanusian, berujung pada eksistensi berbangsa dan bernegara, kan?
Jika boleh berikan satu ilustrasi lagi. Anggaplah tahun politik 2019 ini adalah gelombang pasang. Biarlah yang "porak poranda" itu cukup dialami oleh kapal-kapal yang berwujud parpol dan para elit di permukaan lautan. Dan anak negeri tetap nyaman di kedalaman lautan, tanpa terdampak gelombang. Halaah. Salam..
Curup, 20.03.2019
Zaldychan [ditulis untu kompasiana]
Taman Pustaka: wikipedia.org