Bermula dari gigitan seekor nyamuk. Tepat di sudut sebelah kanan bibir bawahku. Awalnya, kubiarkan saja. Hitung-hitung. bersedekah pada seekor nyamuk yang ribuan kali lebih kecil dariku.
Ternyata pembiaran itu fatal. Akibat gigitan itu, bibirku bengkak, memerah dan gatal-gatal. Tak hanya sampai disitu. Bibir bawahku sedikit dower. seperti Mick Jagger, vokalis The Rolling Stones. Grup Band legendaris akhir abad duapuluh.
"Mungkin Alergi?"
"Aku tak makan udang!"
"Kamu makan duku, kan?"
"Emang duku penyebab alergi?"
"Bisa jadi!"
Cermin dihadapanku, tersenyum. Aku juga. Seingatku. Dulu, waktu kecil. Aku pernah alergi ikan asin. Setiap makan itu, pasti timbul bintik-bintik merah di lipatan kaki, lipatan paha, perut. Ketiak juga leher. Tapi hanya sesaat gatal-gatal. Kuanggap balasan setimpal dari lezatnya ikan asin.
Kupandangi cermin. Bibirku bagian bawah semakin memanjang. bahkan mulai terjulur menyentuh kerah baju. kuputar kepala, memandang dari samping. bibir itu mengembung. Akh! Aku mirip kera yang menyimpan makanan di mulut.
"Wah! Bibirmu merekah!"
"Diam! Kau anggap bibirku bunga?"
"Haha..."
"Malam nanti aku harus tampil bicara. Tapi bibir ini..."
"Apa adanya, saja! Kamu sudah janji. Jangan ingkari!"
"Nyamuk itu, bikin rusuh!"
"Coba pakai lipstik? Untuk menyamarkan..."
Lipstik? Aku tersenyum, seraya acungkan dua jempol. Cermin juga. Tapi, butuh berapa biji? bibirku, sekarang tak lagi menjuntai ke bawah. Tapi memanjang. Sudah melewati hidung mancungku. Kembali aku melihat wajah dari samping. Aku sudah mirip anak burung beo eh, pelikan! Tapi hanya bibir bawah. Bagian atas tak beranjak dari posisi semula.
Tak mungkin kugunakan lipstik. aku mulai kesal. Mataku mencari-cari. Sasaranku hanya satu. Mencari tahu jenis nyamuk itu. gara-gara gigitannya dibibirku. Dua kali wajahku berubah. Menjadi kera dan beo, eh pelikan. Bagaimana bisa, aku hadir di khalayak umum. Bicara tentang kehidupan dan membahas rencana masa depan. dengan penampilan bibir seperti ini?
Kuraih sapu juga kain sarung. Menelisik setiap dinding kamar. Menerawang di setiap jengkal ruang. Nyamuk itu telah hilang. Jika saja, nyamuk tahu, siapa aku. sampai mati pun, nyamuk itu pasti menyesal. tapi, percuma kucari sekarang. Hari sudah mulai petang. Aku juga mesti siapkan bahan-bahan untuk nanti malam.
aku kembali duduk di depan cermin. Bibirku sudah panjang sejengkal. Cermin tersenyum, aku marah. Tapi tak lagi bisa bicara. Lidahku hilang seperti nyamuk. Bukan hilang! Lidahku berubah menjadi tulang.
Cermin tertawa keras melihatku. Amarahku memuncak. Kuangkat kaki, berkali kuhajar cermin. Hingga berderai. Pecahan kecil-kecil kacanya, jatuh dan memenuhi lantai. Tapi, tawa itu belum hilang.