Mohon tunggu...
Tjut Zakiyah Anshari
Tjut Zakiyah Anshari Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Sanggar Kepenulisan PENA ANANDA CLUB, domisili Tulungagung.

https://linktr.ee/tjutzakiyah Ibu rumah tangga, penulis, dan narablog di zakyzahra-tuga.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Cengkerama Cakra Nagari di Penghujung 2014

5 Januari 2015   17:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:47 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkara cilik dadi nglambra. Suwe anggon sareh. Amerga ngugemi benere dewe-dewe. Ora bisa ngregani pangertene liyan. Senengane padha golek menang. Yen kalah isine mung panas ati. Mangsa paceklik mangsa nggrangsang Ayo padha ngleremake ati. (A. Rego S. Ilalang, 2014)

Foto Dok: Agus R. Subagyo Ilalang Setelah beberapakali gagal menghadiri undangan sahabatku, Rego Ilalang, pada pagelaran teater anak-anak binaannya, Cakra Nagari, alhamdulillah, akhirnya di penghujung tahun 2014, saya berkesempatan hadir bersama sahabat-sahabat Tulungagung di MIN Kedungombo, Nganjuk. Beruntung, meski berangkat sudah hampir pukul 19.00, itupun mendadak galau —daripada mengecewakan karena datang terlambat, apa lebih baik tidak datang sekalian ya— akhirnya bisa mengikuti acara intinya, yaitu pentas teater Cakra Nagari yang mengusung tajuk TIGA RENDHENG — MANGSA PACEKLIK. Tampilan anak-anak ini merupakan rangkaian acara API UNGGUN 1000 PUISI ANAK NAGARI. Kami (saya, pak Setio Hadi, mbak Wijiati Dahlia, pak Sugeng) memasuki area MIN pukul 21.00 lewat, saat acara foto ria seluruh hadirin pesta api unggun. Kegiatan ini rupanya dihadiri banyak sastrawan, penyair, seniman dan budayawan dari Mojokerto, Kediri, Blitar, Malang, Trenggalek, Madura, sampai Flores NTT. Bukan hanya puisi yang meramaikan pelepasan tahun 2014 ala MIN Kedungombo, tapi juga monolog dan teater, mulai dari sajian anak-anak Cakra Nagari sampai para dedengkot di dunia persilatan sastra dan kepenyairan. Keren sekali…!!! Entah mengapa saya yakin, siapapun yang menyaksikan anak-anak Cakra Nagari saat berpuisi dan berteater, akan mengatakan “ya pantesan” dengan ungkapan pak Masrukin, Kepala MIN saat menyampaiakan kebanggaannya atas prestasi anak-anak di kegiatan-kegiatan Porseni (https://www.facebook.com/rumputliar.nganjuk/posts/10152726500623096). Saat puisi ping-pong dibawakan 2 siswa (puisi yang dibawakan secara sahut-bersahut), benar-benar memerindingkan bulu kuduk, terlepas dari apa yang disampaikan sahabat Rego, atas ketidakhadiran 2 anak lainnya, sehingga ada sedikit perubahan dan improvisasi ringan (seharusnya pingpong puisi ini dilakukan berempat). Bukan hanya lantangnya yang memecah perhatian penikmat, tapi juga tajuk yang dibawakannya, mengingatkan kita bahwa masih banyak yang harus kita lakukan untuk negeri. TIGA RENDHENG — MANGSA PACEKLIK ditampilkan oleh 16 anak. Dibuka dengan narasi di pembuka selayangpandang ini, lalu tembangan.

Gundul gundul pacul cul gembelengan Nyunggi nyunggi wakul kul gembelengan Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan Alas alas gundul ndul gembelengan Gunung gunung gundul ndul gembelengan Banyu kali sabane tekan ratan Banyu udan dadine ngebaki dalan Alas alas gundul ndul gembelengan Gunung gunung gundul ndul gembelengan Banyu kali sabane tekan ratan Banyu udan dadine ngebaki dalan

Penonton disedot perhatiannya ke area panggung. Demikian juga saya. Bahkan darah seakan turut tersedot saat geguritan karya kang Nur Afif ditembangkan, mengiringi satu demi satu pemain keluar dengan membawa sebatang pohon, lalu mereka duduk bersimpuh dalam lingkaran.

Ora mung karana Netepi tembung wajib Nanging ana kang luwih Adi-edi-peni Tinimbang kang bisa Ginambarake Dening basa manungsa Kang winates Ana pocapan Angiyupa sangisore Kleyang aking-garing Kang sigra purna Labuh-labet lan Lila dadi rabuk ing agesang Bali sumuyut Sungkem marang Ibu bumi Ing kene Dadi paseksen Ana gurit kang Tuwuh tumus Ing jaja ---- Nadyanta katiga dawa Lemah-lemah nela Ananging winih Kang siningit sajeroning bantala Tansaya sengkud gumregut Nali brata Kinemulan kumriciking tuk Kang tuhu anjampangi Lelaku prasetyaning tumuwuh Wiji-nyawiji-dadi Wiji-sawiji-lestari

Setelah genap, mereka berdiri, bergandeng silang tangan, dengan tetap diiringi tembang. Sesaat mereka mengambil batang-batang pohon yang tadi diletakkan di pusat lingkaran, lalu berbalik arah ke penonton. Sontak penonton yang berdekatan dengan panggung, seperti halnya saya, menepi. Yang terpikir adalah pohon-pohon itu akan diserahkan kepada penonton. Saya pikir, ada yang lebih layak menerimanya, dan itu bukan saya.

Foto Dok: Agus R. Subagyo Ilalang

Ternyata keliru. Seluruh pemain benar maju ke arah penonton. Tapi kemudian mereka menyebar ke tepi, ke petak-petak taman sekolah, dan mengubur akar-akar tanaman yang terbungkus polibag itu ke tanah. Tampilan yang sarat dengan filosofi! Saya sendiri harus mencerna dan akhirnya harus bertanya kepada sang sutradara untuk menggenapi ketidakpahaman saya sekaligus catatan ini. Menurut kang Rego, tampilan yang kemarin belumlah tampilan yang utuh, karena ia memangkas dialog 1-93. Pastinya karena pertimbangan keterbatasan waktu, yang harus berbagi dengan seluruh undangan yang akan turut memeriahkan pesta puisi malam itu. Namun kang Rego berjanji, akan memberikan tampilan utuh suatu saat nanti. Jelas sebenarnya, melalui dialog-dialog dan geguritan, tentang keprihatinan peristiwa alam dan kemanusiaan. Bencana dan bencana lagi-lagi sudah seharusnya memaksa manusia untuk menoleh ke diri sendiri. Kesalahan yang kerapkali dilakukan berulang, sehingga, kala musim rendheng (penghujan) banjir dan longsor hingga menghilangkan sejumlah nyawa, dan kalau musim ketiga (kemarau) kegersangan dan kekeringan yang memecah tanah, hingga kesulitan air untuk kehidupan. Ayo kembali tanam pohon...!!! Itulah pesan di akhir kisah... Sekilas pandang ini sebenarnya saya rasa sangat kurang. Saya tidak kesempatan mengikuti sarasehan pasca pesta apin unggun sambut tahun 2015 itu. Tapi tampilan mereka cukup berbeda dari anak-anak sebaya yang lebih terbiasa dalam permainan drama, dengan dominasi dialog. Sedang anak-anak Cagar ini memainkan lakon yang cukup simbolis, menguat dalam gerak, dan mungkin kalau cahaya cukup terang, kita juga akan bisa saksikan, apakah juga menguat dalam mimik. Ini cukup berbeda dan memuaskan saya sebagai salah satu penikmatnya. Selamat untuk anak-anak nagari, Cakra Nagari… [***] #Bangoan, Minggu, 4/1/2015; 20:33

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun