Mohon tunggu...
Zakky Abdillah
Zakky Abdillah Mohon Tunggu... Editor - Zakky Abdillah

Masih Awam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kurang Efektifnya Kebijakan Pelarangan Mudik akibat Pekerja Nonformal

4 Juni 2021   20:22 Diperbarui: 4 Juni 2021   20:35 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Kompas.com

Masa kebijakan pelarangan dan pengetatan mudik Idul Fitri telah berakhir beberapa hari yang lalu tepatnya 31 Mei. Kita bisa mengamati sendiri bagaimana dinamika yang terjadi pada masa sebelum dan saat kebijakan itu diterapkan. Hasilnya meskipun peningkatan kasus aktif tidak separah awal tahun 2021 tetapi Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa angka ini akan terus meningkat setidaknya hingga akhir Juni 2021.

Ada banyak sekali faktor yang membuat kebijakan pelarangan mudik menjadi kurang efektif sehingga masih terjadi peningkatan kasus aktif. Akan tetapi sebelumnya tentu disclaimer dulu bahwa yang akan saya fokuskan adalah pada faktor pekerja non-formal. Sehingga faktor-faktor lainnya mungkin juga ada hubungannya, tetapi tidak saya bahas di sini. Lantas apa hubungan pekerja non-formal dengan peningkatan kasus covid-19 pasca implementasi kebijakan larangan mudik ? Akan saya ulas dalam tulisan ini.

Berangkat dari Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2021 yang hanya memberi cuti bersama Idul Fitri bagi ASN selama 1 hari pada tanggal 12 Mei 2021 serta kebijakan yang diambil Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di dalam Surat Edaran Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah tertanggal 7 April 2021, kemudian Gugus Tugas Penanganan Covid-19 memberikan tambahan melalui Addendum Surat Edaran Nomor 13 tahun 2021 dengan beberapa penambahan poin untuk pengetatan H-14 sebelum serta H+7 setelah kebijakan pelarangan mudik.

Di dalam Surat Edaran tersebut sebenarnya pemerintah melalui Gugus Tugas Penanganan Covid-19 telah mengatur siapa-siapa saja pihak yang dilarang melakukan perjalanan. 

Pada poin G nomor 3 telah dijabarkan siapa dan bagaimana syarat seseorang dikatakan masih bisa melakukan perjalanan dengan ketentuan yang ketat, seperti pegawai instansi pemerintahan/Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai BUMN/BUMD, prajurit TNI, dan anggota Polri yang harus mendapatkan surat izin dari atasannya dengan keperluan yang jelas. 

Kemudian ada ketentuan untuk pegawai swasta yang perlu mendapat surat izin dari pemimpin perusahaan, juga bagi pekerja nonformal/informal serta masyarakat non-pekerja perlu mendapat surat izin dari Kepala Desa/Lurah. Adanya pengetatan tersebut diharapkan pihak-pihak tersebut enggan melakukan perjalanan ke daerah lain dengan tujuan mudik.

Akan tetapi bukannya menahan untuk tidak melakukan perjalanan yang terjadi justru masyarakat memilih untuk melakukan mudik jauh-jauh hari sebelum masa larangan mudik diberlakukan. Lantas siapa yang melakukan mudik jauh-jauh hari ? padahal pegawai instansi pemerintahan/BUMN/BUMD dan pegawai perusahaan swasta belum memasuki masa cuti atau hari libur.

Kita melupakan bahwa elemen terbesar dari total angkatan kerja (penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja) adalah pekerja nonformal/informal. Berdasarkan data BPS yang saya kutip dari katadata.co.id menunjukkan bahwa jumlah pekerja nonformal kita jauh lebih banyak dibandingkan pekerja formal. Pada tahun 2019 saja jumlah pekerja nonformal berjumlah 70,49 juta jiwa (55,71%) sedangkan pekerja formal sebesar 56,02 juta jiwa (44,28%).

Pekerja nonformal/informal sendiri menurut Hendri Saparini dan M. Chatib Basri adalah tenaga kerja yang bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak. Definisi lainnya menyatakan pekerja nonformal sebagai segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja (job security), tempat bekerja yang tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum.

Kita bisa golongkan pekerjaan-pekerjaan yang termasuk dalam dalam sektor nonformal yakni seperti pegawai rumah makan/warteg (dengan beberapa jumlah pekerja), pedagang sembako (termasuk pegawainya), pedagang sayur di pasar (beserta buruh angkut, tengkulak, dsb.), tukang bubur ayam (yang terkadang memiliki hingga 10 pegawai), usaha/UMKM milik keluarga (belum berbadan hukum), jual beli barang bekas/rongsok, sopir truk carter/borongan, seniman/musisi, tukang parkir, PKL, belum lagi usaha-usaha rintisan UMKM yang dilakukan anak-anak muda juga termasuk pekerja sektor informal. 

Bagi orang-orang yang bergerak di sektor nonformal tersebut bisa dikatakan mereka lebih fleksibel karena mereka merupakan 'owner' dari usaha yang mereka jalankan sendiri atau pekerja/buruh mudah sekali untuk keluar masuk di suatu pekerjaan, sehingga pulang kampung atau mudik kapanpun bisa mereka lakukan tanpa khawatir revenue dan arus kas mereka terganggu seperti perusahaan-perusahaan besar yang memaksa sistem mereka harus berjalan terus menerus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun