Mohon tunggu...
Zakky Abdillah
Zakky Abdillah Mohon Tunggu... Editor - Zakky Abdillah

Masih Awam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nandur Pari Jebul Tukule Suket Teki

4 Juni 2020   00:06 Diperbarui: 4 Juni 2020   00:10 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Refleksi Anti Korupsi Pejabat Publik di Masa Pandemi)

Pagi hari tadi (3/6) merasa terkaget dengan pemberitaan Kompas.com yang berjudul 'Korupsi BLT Covid-19, Kepala Dusun dan Anggota BPD Ditangkap'. - Sumber. Impresi pertama ketika membaca judulnya saja saya seketika langsung marah dan bergumam "kok ada orang yang tega di tengah pandemi korupsi uang rakyat, sudah hukum mati saja". 

Memang saya langsung teringat sebuah pasal di UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 yang menyatakan bahwa dalam keadaan bencana, hukuman mati dapat diberikan kepada pelaku.

Secara umum dijelaskan di dalam berita tersebut bahwa 2 orang ini adalah Kepala Dusun dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Banpres, Kecamatan Tuah Negeri, Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan. 

Ia diamankan tanpa perlawanan di rumahnya oleh pihak Kepolisian atas dugaan pungutan liar (pungli) dengan memotong dana BLT yang telah diberikan kepada 18 kepala keluarga yang setelah mereka bagikan kemudian dipungut dengan masing-masing Rp200.000,- sebagai imbalan sehingga total yang mereka dapat sebanyak 3,6 juta rupiah.  

Dalam stand point saya, ada dua hal yang menjadi kesalahan yang sangat besar. Pertama, memang secara besaran rupiah tidak terlampau besar seperti nominal korupsi yang selama ini sering kita dengat.

Tetapi ketika pungutan liar tersebut dilakukan di tengah pandemi yang melumpuhkan perekonomian dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat bisa dikatakan para pelaku ini sudah 'keras hatinya', tidak punya lagi rasa kemanusiaan yang ada justru keserakahan untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan menindas masyarakat miskin.

Kedua, yang mereka korupsi adalah uang negara yang tentunya berasal dari rakyat. Apa yang mereka bagi dan kemudian mereka pungut secara liar itu bukan milik mereka, kalau uang itu milik pribadi atau korporasi swasta yang tidak berhubungan dengan publik tentu bisa diberi maklum (tentu dengan mekanisme internal untuk penyelesaian hukumnya), tetapi ketika uang ini milik rakyat dari APBN atau APBD tentu merupakan suatu tindakan biadab.

Itulah sebabnya dalam pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor memberikan ancaman hukuman mati kepada pihak yang melakukan korupsi uang negara di tengah kesengsaraan bencana, karena tindakan yang mereka lakukan seperti memberikan double impact bagi masyarakat.

Tentu apa yang terjadi di Kabupaten Musirawas ini merupakan suatu pelajaran bagi kita, khususnya bagi para pejabat negara/publik yang lain, mulai struktur tertinggi seperti Presiden, Menteri, Gubernur, hingga struktur terbawah seperti Kepala Desa, Kepala Dusun, RW, dan RT. 

Bahwa wewenang penanganan pandemi covid-19 telah diserahkan rakyat kepada pemimpin-pemimpin tersebut di masing-masing wilayah. Tetapi apabila kepercayaan yang diberikan rakyat itu diselewengkan, bahkan menindas rakyat di masa yang serba sulit ini dengan tindakan korupsi, maka seharusnya mereka ingat bahwa kehidupan manusia tidak berhenti di dunia, tetapi berlanjut di alam akhirat (pembalasan).

Menurut saya ingatnya seseorang terhadap alam akhirat ini menjadi satu-satunya khasiat mujarab anti korupsi bagi pejabat negara. 

Hal itu karena bagi mereka yang sudah 'kecanduan' mengambil uang rakyat tidak akan pernah puas karena sifat serakah pada diri manusia (dimensi Greeds, dalam GONE Theory) yang membuat mereka melakukan seribu satu cara meskipun ancaman di dunia dibuat sedemikian rupa hingga ancaman hukuman seumur hidup atau hukuman mati diberikan. Maka ingatlah hari akhir, itu saja. Sebagai alam pembalasan atas apa-apa saja yang telah kita lakukan di dunia.

Antara dunia dan akhirat ini memiliki hubungan, apa yang kita lakukan di dunia menentukan apa yang akan kita dapatkan di akhirat. Dunia itu tempat kita "menanam", dan akhirat itu tempat kita "memanen". Seperti judul artikel yang saya tulis ini, ibarat kita di dunia sedang menanam pari (padi) maka harapannya di akhirat nanti yang akan dipanen adalah tanaman padi yang sudah menguning dengan bulir padi bernas yang siap dijadikan beras dan nasi. 

Bukan malah kita niatnya menanam pari (padi) yang justru ketika dipanen di akhirat nanti ternyata yang didapat hanya suket teki (rumput liar), tidak memberikan hasil apa-apa, justru rasa kecewa yang didapatkan. 

Mengapa rasa kecewa yang didapat ? karena di akhirat justru mendapatkan kepedihan yang luar biasa. Bagaimana gambarannya? 

Saya rasa agama kita masing-masing telah mengajarkannya yang memberi gambaran terkait hal itu. Mengapa banyak orang/pejabat negara yang tidak tersentuh dengan akhirat ? saya rasa pengamalan dirinya terkait sila pertama Pancasila yang masih belum paripurna.

Titip salam saya bagi para pejabat negara/publik, ingatlah dunia ini sementara, dunia ini tempat kita "menanam" dan akhirat itu tempat kita "memanen". 

Ini adalah momentum bagi anda untuk menanam sebanyak-banyaknya dan sekualitas mungkin, jadi optimalkan kontribusi anda dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu mengentaskan Indonesia dari pandemi covid-19 dan memulihkan kembali pembangunan yang sesuai dengan jalurnya, menuju Indonesia Maju, Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun