Mohon tunggu...
Zakky Abdillah
Zakky Abdillah Mohon Tunggu... Editor - Zakky Abdillah

Masih Awam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pertanyaan Keramat Saat Lebaran

26 Mei 2020   12:56 Diperbarui: 26 Mei 2020   12:54 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari di penghujung bulan Ramadhan, ada seseorang yang mengajak saya berdiskusi terkait pertanyaan yang secara ‘mutlak’ pasti dilontarkan orang-orang terdekat (keluarga) pada saat tradisi berkumpulnya keluarga besar saat lebaran

Saya menyebut pertanyaan yang seringkali dilontarkan itu sebagai pertanyaan yang menukik dan keramat. Disebut pertanyaan ‘menukik’ karena pertanyaan itu tidak pakai tedeng aling-aling langsung to the point tepat dengan kecepatan yang tinggi menyerang kita yang ditanya, kemudian disebut ‘keramat’ karena kita yang mendapat pertanyaan langsung merasa gemetar ketakutan, keringat dingin, aliran darah dan jantung berdetak lebih kencang.

Pertanyaan apa yang menukik nan keramat itu ? pertanyaan itu seperti kapan kuliah, kapan kerja, kapan nikah, kapan punya anak, kapan punya anak lagi, kapan punya rumah, kapan punya mobil, kapan naik jabatan, kapan haji/umroh, dst.

Sebenarnya kalimat tanya yang diawali dengan kata ‘kapan’ itu levelnya sangat rendah dalam dalam ranah epistemologi filsafat dibandingkan kata ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’, tapi untuk menjawab pertanyaan dengan level serendah itu untuk menjawabnya perlu energi ekstra.

Apalagi untuk kita-kita yang usia milenial dan gen Z (dewasa awal) pasti akan mendapat terpaan pertanyaan dari mereka yang dari usia ‘kolonial’ (usia boomer dan gen X) dan dipaksa untuk menjawab pertanyaan yang sangat sulit yakni, “kapan nikah ? kapan kawin ? kapan rabi ?”

Untuk menjawab pertanyaan itu sebenarnya hal-hal yang perlu dibongkar dari mind-set dan stand-point mereka yang berusia ‘kolonial’ itu. 

Di sini saya hendak membongkar mind-set mereka supaya tidak sewenang-wenang menindas kita yang milenial, karena selama ini kita dianggapnya kita tidak segera menikah itu berarti kita tidak laku, tidak mampu, kurang cakep, ah banyak lah...

Pertama, kita yang milenial dan mereka yang kolonial itu sudah berbeda zaman, jauh, jauh banget. Di era mereka yang kolonial dulu, untuk menikah itu seolah gampang sekali karena prinsipnya yang penting kawin. 

Maka tak jarang ada yang dulu menikahnya itu karena dicarikan oleh orang tuanya untuk dijodohkan, dari saudara jauh, bahkan di suku tertentu orok yang baru lahir saja langsung ‘dibooking’ untuk dijodohkan dengan sama-sama orok yang baru lahir juga. 

Itulah mengapa kita bisa ketahui banyak data kakek-nenek kita sudah menikah di usia yang sangat muda, baik laki-laki maupun perempuan, di usia 9 tahun, 12 tahun, 13 tahun bahkan ada yang berusia 15 tahun tapi sudah menjadi duda karena istrinya meninggal. 

Tapi kalau dibandingkan sekarang ya berbeda, untuk memilih itu saja ada ilmunya, tidak sekadar yang penting kawin, tidak zaman lagi dijodoh-jodohkan, tidak mau lagi dibooking-booking (kayak kamar hotel aja). 

Logika dunia saat ini mengarah pada akal rasional untuk semua perilaku manusia bahkan untuk memilih pasangan hidup, sekali seumur hidup, ya memang begitulah zaman kita mbah/pakdhe/budhe/tante, tidak seperti zaman dulu.

Kedua, di era mereka yang kolonial dulu untuk menikah mudah sekali, selain biaya pernikahan yang ditanggung orang tua juga biaya hidup selanjutnya relatif lebih murah. Tapi sebetulnya masa-masa itu yang menimbulkan tingkat kesejahteraan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang sangat rendah bagi Indonesia. 

Coba saja dibayangkan bagaimana anak-anak/ remaja di usia 9 – 12 tahun sudah memiliki anak (anak-anak punya anak), bagaimana pemenuhan gizi bayi, bagaimana pola asuh anak-anak saat itu, sudah dipastikan lah orang tua dengan tingkat maturitas yang belum matang memiliki pengetahuan yang sangat terbatas untuk hal-hal tersebut. Di kondisi saat ini saja pernikahan dini usia remaja juga memberi kerawanan perceraian yang tinggi.(source) 

Termasuk juga saya hendak mengkritik gerakan yang mengkampanyekan untuk tanpa pacaran dan langsung segera menikah di usia yang sangat muda, bahkan dicontohkan langsung oleh tokoh tersohor di negeri ini yang menikahkan anaknya di usia-usia SMA (dianggapnya menikah di usia puber langsung menyelesaikan masalah, apalagi mengatasnamakan agama tertentu, seolah agama mengajarkan untuk nikah muda, padahal tidak begitu, ingin nanti menulis membahas khusus tentang hal ini). 

Dear kolonial, biarkanlah kami memberikan kontribusi bagi negeri untuk meningkatkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, demi meninggalkan jejak kelam masa lalu.

Ketiga, berangkat juga dari bangkitnya rasionalitas zaman, kaum milenial di masa kini hendak menyiapkan segalanya secara matang agar ketika membangun keluarga bisa terbangun keluarga yang memiliki ketahanan, seperti konsep rancangan undang-undang ketahanan keluarga yang sering diwacanakan. 

Keluarga yang memiliki ketahanan tentu mampu mendukung pembangunan nasional. Calon generasi penerus bangsa terlahir dari keluarga yang memiliki perencanaan matang. 

Bagaimana keluarga tersebut merencanakan keluarga di masa depan, kapan memiliki anak, bagaimana gizi kehamilan ibu, bagaimana kelahirannya, bagaimana pemenuhan gizi bayi hingga balita, bagaimana pendidikan usia dininya, bagaimana pendidikan dasarnya, pola asuh anak, hingga rencana pendidikan tinggi. 

Di dalam keluarga juga dibangun bagaimana pola interaksi yang baik antara suami, istri, dan anak. Bagaimana pola membangun kerja sama dan penyelesaian konflik. Pembagian pekerjaan rumah (karena keluarga modern tidak selalu menyerahkan semua pekerjaan rumah pada istri saja), pembagian kasih sayang dan pendidikan ke anak, pemenuhan ekonomi (income dari suami saja atau istri juga bekerja), termasuk juga bagaimana kontribusi keluarga itu bagi masyarakat sekitar perlu diperhatikan. Ya begitulah milenials saat ini semua disiapkan secara matang dengan pertimbangan-pertimbangan rasional berdasarkan ilmu terkait.

Jadi, please lah bagi kaum ‘kolonial’, tolong sudahilah perang dingin dengan milenial di setiap lebaran dengan melontarkan pertanyaan menukik dan keramat. Kami sudah jera dengan semua desingan peluru pertanyaanmu. Sebenarnya di dalam pikiran ini ingin menjelaskan dengan gamblang kepadamu sebagai balasan telak kami atas pertanyaan itu, tetapi apa daya, logika zamannya sudah berbeda, dijelaskan pun aku yakin akan sulit memahami. Itulah mengapa kami ketika ditanya “kapan nikah ?”, kami lebih memilih menjawab singkat (jawa : abang-abang lambe), “yaa doain aja mbah/budhe”, “yaa kan lagi korona mbah, gaboleh nikah dulu”, “hari minggu mbah/budhe, tapi belum tahu tanggal berapa”.

 Oke, selamat menikmati pertanyaan keramat dan menukik saat lebaran. Selamat Lebaran...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun